"Itu hanya bercanda," "Jangan lebay," "Sudah ya biarkan saja saling memaafkan" atau "dia terlalu sensitif" adalah kalimat yang sering kita dengar dan nyatanya merupakan bentuk normalisasi kekerasan yang sangat merusak. Kekerasan ataupun pelecehan seksual bukan lah hal yang lagi di telinga kita. Hal ini dapat terjadi dimana saja dan tanpa memandang siapa pun. Akhir-akhir ini yang menjadi sorotan adalah peristiwa menjijikkan terjadi di sekitar lingkungan pendidikan, terutama di perguruan tinggi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan angka kekerasan seksual yang terjadi perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2019 adalah sekitar 1.298 kasus, sedangkan pada tahun 2024 ini di bulan November kemarin tercatat 1.919 kasusnya. Bukannya makin menurun tapi semakin bertambah dan sangat disayangkan peristiwa-peristiwa ini terjadi di lingkungan perguruan tinggi dengan oknum-oknumnya ialah civitas akademik itu sendiri.
Lingkungan kampus yang seharusnya adalah lingkungan positif untuk kita bersosialisasi, mengembangkan diri, dan mengenyam pendidikan dengan baik malah menjadi lingkungan yang cukup menakutkan untuk beberapa orang. Lingkungan kampus yang seharusnya menjadi tempat aman untuk berkembang secara intelektual dan pribadi, justru menjadi tempat di mana hak-hak dasar mahasiswa dilecehkan. Ironisnya, janji-janji perlindungan seringkali hanyalah omong kosong.
Namun, apakah data tersebut sudah mencakup seluruh kejadian yang terjadi di lapangan? Nyatanya banyak sekali kejadian-kejadian yang masih dibungkam, dibiarkan terpendam, disembunyikan dari mata-mata luar. Kampus-kampus lebih memilih untuk memperhatikan reputasi institusi daripada nasib korban. Kekerasan seksual dianggap sebagai ancaman terhadap reputasi baik yang mereka bangun. Akibatnya, laporan sering diabaikan atau diselesaikan secara tertutup, membuat korban kebingungan dan menyalahkan dirinya sendiri. Hal ini jelas menunjukkan kegagalan moral institusi dan mempertahankan budaya kekerasan. Slogan "Kampus Anti Kekerasan Seksual" tapi membungkam para korban. Tidak memikirkan apa yang dirasakan oleh korbannya. Korban memilih untuk tidak mengatakan apa-apa karena stigmatisasi sosial, ancaman dari pelaku, atau tidak percaya bahwa laporan mereka akan diperiksa.
Korban merasa sulit melawan atau melaporkan karena ada tekanan sosial atau nilai akademik yang terancam, karena pelaku sering kali berada dalam posisi berkuasa, seperti dosen, staf administrasi, atau senior mahasiswa. Kekerasan seksual di kampus adalah bukan hanya menjadi masalah personal perorangan. Hal ini adalah masalah sistemik yang mencerminkan rusaknya budaya perlindungan institusi pendidikan. Untuk menghapus ini, semua orang, mahasiswa, dosen, staf, dan pemimpin kampus harus berani. Kampus yang aman adalah hak dan tanggung jawab bersama. Jangan biarkan kekerasan seksual tetap menjadi kekelaman di dunia pendidikan kita. Kita butuh aksi dan bukan hanya sekedar simbol "Kampus Anti Kekerasan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H