Mohon tunggu...
Ayesha Early
Ayesha Early Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya suka menulis artikel tentang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orientasi Pendidikan di Indonesia, ke Negeri atau Swasta?

11 Juni 2024   17:10 Diperbarui: 11 Juni 2024   17:14 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Times Higher Education

Pendidikan adalah hak pokok yang harus didapatkan oleh seluruh masyarakat Indonesia, tidak bergantung pada status sosial dan ekonomi. Latar belakang pendidikan sangat berguna untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya ataupun melamar pekerjaan. Belakangan ini, tak jarang masyarakat dibuat bingung, ingin mendaftarkan anak di sekolah mana, negeri atau swasta, dan kuliah di mana, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Dulu, sering terdengar istilah “Sekolah Negeri lebih FAVORIT daripada Sekolah Swasta”. Hal tersebut dibuktikan dengan ranking 10 besar sekolah terbaik di Indonesia, dari SD hingga SMA, selalu didominasi oleh sekolah-sekolah negeri. Namun, sejak munculnya kebijakan zonasi, tampaknya kejayaan Sekolah Negeri jadi menurun.

Zonasi adalah program pemerintah yang bertujuan untuk pemerataan. Dulunya, sekolah negeri yang berkualitas didominasi oleh anak-anak yang berasal dari keluarga mampu. Maka dari itu, dicetuskan program ini untuk membantu anak-anak kurang mampu yang tempat tinggalnya dekat dengan sekolah negeri agar tidak perlu membayar mahal. Akan tetapi, hal tersebut justru membuat sekolah negeri ‘turun kualitas’. Dibuktikan dengan ranking 10 besar sekolah terbaik di Indonesia versi LTMPT didominasi oleh sekolah-sekolah swasta sejak tahun 2022 hingga sekarang.

‘Penurunan kualitas’ ini lantas membuat masyarakat bertanya-tanya, “Apakah sekolah yang berkualitas hanya ditujukan untuk anak-anak yang mampu saja?”. Program zonasi yang digadang-gadang memeratakan kualitas pendidikan, nyatanya tetap saja berpihak pada tunas emas yang bertabur berlian.

Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di sekolah, melainkan juga terjadi di perguruan tinggi. Belakangan ini, sedang marak berita tentang kenaikan UKT yang tentu saja memberatkan para orang tua termasuk mahasiswa itu sendiri. Hal yang membuat miris adalah kenaikan UKT ini banyak terjadi di Perguruan Tinggi Negeri, yang merupakan harapan satu-satunya anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kenaikan UKT ini, salah satunya karena  perubahan status perguruan tinggi negeri yang awalnya Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menjadi Badan Hukum Publik yang otonom. Hal ini membuat PTN tidak mendapat jatah dana pendidikan dari pemerintah dan harus mencari dana sendiri untuk kelangsungan PTN, sama seperti swasta. Ditambah lagi, saat ini banyak mahasiswa yang ke kampus menggunakan barang bermerek. Jadi, pihak kampus mengira kebanyakan mahasiswa telah mampu secara keuangan sehingga pihak kampus memutuskan untuk menaikkan UKT.

Kenaikan UKT tentu memberatkan para mahasiswa yang berasal dari kalangan kurang mampu. Banyak di antara mereka yang sampai mengejar beasiswa, bekerja paruh waktu, ataupun terjerat pinjaman online demi bisa terus berkuliah di PTN impiannya. Bahkan tak jarang ada mahasiswa yang memilih tidak melanjutkan kuliah karena terkendala biaya, padahal secara akademik mahasiswa tersebut termasuk pintar dan membanggakan.

Perlu adanya kajian ulang dari pemerintah mengenai efektivitas program zonasi dan perubahan status PTN-BHMN menjadi PTN-BH. Akan menjadi percuma apabila saat sekolah, anak yang kurang mampu dapat memasuki sekolah negeri yang SPP-nya jauh lebih murah dibanding swasta, namun saat kuliah disuruh memilih antara PTN atau PTS yang sama-sama berbiaya mahal. Biaya mahal tersebut bukan berarti secara kualitas lebih baik. Masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa PTN jauh lebih baik dibandingkan swasta sehingga mereka berbondong-bondong memasukkan anaknya ke PTN berapapun biayanya. Hal ini membuat masyarakat kurang mampu lebih memilih PTS yang biayanya lebih murah dari PTN. Tentu dengan kualitas yang masih di bawahnya.

Lantas, ke manakah orientasi pendidikan di Indonesia? Tentu pertanyaan tersebut masih belum dapat dijawab. Bukan karena kualitas negeri sama dengan swasta, melainkan karena ketidaksinkronan antara biaya sekolah yang awalnya murah ke biaya kuliah yang semuanya mahal dengan kualitas yang belum setara. Mungkin, siswa ataupun mahasiswa dari kalangan berada dapat menjawab pertanyaan ini karena mereka punya pilihan. Namun, siswa ataupun mahasiswa dari kalangan kurang mampu hanya terima apa adanya saja, padahal mereka juga berhak mendapat sekolah yang kualitasnya sama dengan siswa atau mahasiswa dari kalangan mampu.

Perlu adanya kejelasan bahwa sebenarnya pemerintah memihak siapa, swasta atau negeri. Apabila jawabannya “tidak memihak” maka buktikan dengan pemerataan kualitas, bukan pemerataan biaya. Pemerataan biaya menjadi sah-sah saja apabila biaya sekolah swasta diturunkan menjadi sama dengan sekolah negeri, bukan sekolah negeri yang menyetarai biaya sekolah swasta. Atau bisa juga diberlakukan standar biaya sekolah yang dapat dijangkau semua kalangan. Tentu saja semua sekolah ataupun PTN harus mematuhi standar yang ditetapkan tersebut dan tidak boleh menetapkan biaya melebihi standar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun