Tuhan pernah menawarkan kepada Rosul SAW akan harta layaknya yang dikaruniakan atas Daud dan Sulaiman. Akan tetapi beliau menampik tawaran Tuhan itu dan lebih memilih untuk hidup dengan, bisa dibilang, kemiskinan.Â
Beliau beralasan semakin banyak harta maka semakin terakhir masuk kedalam surga. Konon Sulaiman merupakan Nabi paling terakhir yang dimasukkan kedalam surga lantataran hartanya yang terbanyak di anatara nabi-nabi lain lantas membuatnya paling lama untuk memepertanggungjawabkan apa yang ia punya.
Kemiskinan nabi ini tampak jelas dari kisah-kisah beliau seperti di kala karena laparnya beliau sampai mengikatkan batu ke perutnya. Atau kisah ketika datang seseorang kepada beliau untuk meminta sesuatu sedangkan beliau sama sekali tidak memiliki apun yang dapat diberi selain pakaian yang tengah beliau kenakan.Â
Lantas diberikanlah pakain tersebut kepada orang itu karena saking tidak adanya barang sedikitpun yang beliau punya untuk diberikan. Hingga Tuhan menegur baginda dan memperingatkan bahwa memberi itu baik namun juga musti menimbang kondisi atau keadaan diri sendiri terlebih dahulu.Â
Poinnya adalah di tengah kekuasaan yang beliau miliki, seorang penguasa Arab, yang memiliki kekuatan yang besar dalam genggaman-nya untuk mendapatkan apapun lewat kekuasaan-nya namun beliau tetap memilih untuk menjadi miskin.Â
Beliau adalah orang yang mulanya merupakan seorang pedagang, malah merupakan seorang pebisnis ulung dan cerdik hingga keandalannya dikagumi oleh seorang juragan kaya raya hingga bahkan kemudian mempersunting beliau menjadi suaminya, ialah Sayyidah Khadijah.Â
Namun sangat mencengangkan bahwa tatkala beliau memiliki kekuasaan yang sangat besar dan secara nalar kekuasaan yang berada di tangan beliau memiliki potensi besar untuk digunakan guna memperlebar sayap perdagangan beliau namun, jika dipandang dari sudut pandang kepitalistik yang titik standar tumpuan kehidupannya adalah keuntungan materialistik, alangkah bodohnya malah resign dari pintu kekuatan bisnis yang tengah terbuka lebar-lebar. Sekali lagi, itu jika ditinjau dari sudut pandang materialistik.
Namun jika kita memakai kacamata eksistensialis akan nampak bahwa segala sesutau dalam hidup kita mesti akan kita pertanggungjawabkan karena hakikat dari manusia adalah makhluk yang bertanggungjawab.Â
Sebagaiamana diungapkan Viktor E Frankl dalam Man Search For Ultimate Meaning-nya bahwa menjadi manusia adalah berarti diistilahkan sebagai menjadi 'bertanggung jawab'.Â
Manusia akan selalu bertanggung jawab atas segala pilihannya bahkan bertanggung jawab atas ketidakbertanggungjawaban-nya.Â
Rosul hanya tidak ingin untuk bertanggung jawab pada harta benda karena mereka tidaklah penting dalam hidup beliau karena yang paling dan teramat urgent untuk beliau pilih dan panggul di atas pundak tanggung jawab beliau adalah ummati, ummati, ummati... Ketika sesuatu dipilih untuk dipertanggungjawabkan maka ia akan menuntut jatah waktu dan space pikiran yang memang menjadi haknya.