Pernahkah mengalami perasaan tak enak dengan tulisan sendiri? "Sepertinya tulisan ini itu onoh tak cocok ditulis olehku deh?" semacam itu. Aku pernah mengalaminya, kini pun. --nanya sendiri, dijawab sendiri. :D
[caption caption="Menulis bukanlah sekedar me-list kata-kata dalam menu. Aydi Rainkarnichi"][/caption]
Aku sadar betul, telah menuliskan kata-kata penyemangat seperti dalam tulisan bertanda Menuju Menulis. Namun, aku seperti terbebani dengan tulisan-tulisanku sendiri. Sok-sokan menyemangati kawan-kawan yang baca postingan blogku, sedang aku sendiri tak bersemangat. Yeah.. Hal semacam ini, perasaan seperti ini terulang kembali. Move on, Bro! --harus Pak Mario Teguh nih yang bilang biar terasa Super.
Aku ingin bertanya sesuatu yang serius --gak pake banget sih-- tentang kepenulisan. Apa pertanyaannya itu? Silakan loncat ke paragraf selanjutnya.
"Apakah menulis itu harus kita sendiri pernah melakukannya, terutama tulisan yang berbau motivasi kek motivator super, ajakan melaksanakan perintah agama seakan ustadz, atau hal lainnya yang bertujuan menjadikan orang lain melakukan ini itu, sedangkan yang menulis sendiri tidak / belum melakukannya?" Seakan aku seorang kakek bijaksana yang menasihati cucunya, sedang aku sendiri belum pernah menjadi kakek dan tentu tidak merasa begitu bijak dalam bersikap berperilaku. Kira-kira seperti itu.
Tulisan adalah perpanjangan dari lisan. Setiap tulisan tentu saja akan dimintai pertanggungjawaban kini maupun nanti. Seperti halnya lisan, berpengaruh baik ataukah buruk tulisan itu, yang menulisnyalah yang akan menjadi sasaran tembak pembacanya.
Aku sadar betul, tidak baik menyuruh-nyuruh orang untuk berbuat baik, mencegah-cegah orang berperilaku jahat, sedang yang menyuruhnya sendiri tidak melakukan kebaikan ini, tidak menjauhi hal yang tidak baik itu. Sungguh, sikap demikian adalah perbuatan yang buruk, bukan?
Nah, bagaimana dengan kegiatan tulis menulis ini?
Apakah tuliskan saja ajakan kebaikan ini itu dan menyerahkan sepenuhnya dampak baik-buruk tulisan pada pembaca, penulis lepas tangan jauh-jauh tak perlu pula searah dengan sikap perilaku penulis yang sebenarnya? Ataukah lanjutkan menulis hal memotivasi ini itu sembari penulis terus melakukan koreksi diri, perbaikan sikap diri? Apa mungkin harus menunggu menjadi pribadi yang layak terlebih dulu, layak menuliskan ini mengenai itu barulah menulis dan melempar tulisan ke pembaca? Atau tak menulis sama sekali, membiarkan tetap dalam pikiran saja, hanya untuk diri sendiri saja? Lalu menjadi lupa, tak ingat lagi. Bahkan lupa diri?
Menulis ini. Kusebut keresahan yang kembali terulang. Akan kembali terulang. Lagi dan lagi, terulang lagi. Kembali terulang mengulang keterulangan. Keresahan (lagi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H