"Menampar" wajah Kemendikbud? Mungkin terkesan sebuah pertanyaan yang mengesampingkan kesopanan dan kesantunan. Tetapi, saya tak hendak bermaksud melanggar tata adat sopan santun ketimuran lndonesia. Tulisan ini hanyalah sebuah cerita dan ungkapan hati yang ingin saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA. Semoga saya tidak salah menuliskan gelar kehormatan untuk beliau.
Assalamu'Alaykum Warohmatullahi wabarokatuh,
Salam santun, Bapak. Semoga senantiasa kemudahkan adalah milik panjenengan dalam menjalankan tugas sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Terlebih dahulu saya kenalkan nama saya Ayda Ida, seorang Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang kebetulan sedang menempuh pendidikan S1 jurusan Science in Entrepreneurial Management di Saint Mary's University HK. Saya dan kawan-kawan pelajar migran di HK juga aktif sebagai aktivis pendidikan di Aspirasi Pelajar Indonesia Kita - Hong Kong (ApiKita-HK).
Sedikit mengabarkan tentang kawan-kawan disini bahwa ternyata masih sangat banyak para BMI yang antusias melanjutkan pendidikannya. Namun, bukan hal ini yang hendak saya bahas. Tetapi adalah mengenai adik-adik di Indonesia, saya menyadari benar siapa dan apa posisi saya. Maka dengan segala kerendah-hatian dan tanpa mengurangi rasa hormat saya ingin berbicara melalui tulisan.
Senang sekali ketika saya membaca ulasan kabar media tentang kunjungan kerja Bapak Menteri ke Papua beberapa hari lalu. Terlebih lagi tentang wacana pemberian buku-buku gratis kurikulum 2013 meski beberapa minggu ini sering saya dapati kabar tentang kesemrawutan pendidikan terkait UAN adik-adik di Tanah Air. Harapannya ini bukan sekedar wacana yang berujung pada pepesan kosong. Berikut saya ambil sedikit wacana dari situs resmi kemendikbud:
Sorong, Kemdikbud --- Kunjungan kerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh di Papua Barat, turut mengagendakan kunjungan ke daerah sasaran program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Salah satu sekolah tempat pengajar SM3T mengajar adalah SD dan SMP Satu Atap (Satap) Ninjemor. Di sepanjang jalan menuju lokasi, rombongan Mendikbud disambut ratusan orang yang terdiri dari guru dan siswa SD, SMP, dan SMA.
"Melihat sepanjang jalan bangunan sekolah relatif bagus. Para siswa dan dan guru berjejeran menyambut rombongan, itu menampakkan bahwa pendidikan di Papua Barat sudah bangkit. InsyaAllah tidak terlalu lama adik-adik kita akan bisa memimpin bangsa ini,” tutur Mendikbud saat menyapa para siswa dan penduduk di SD dan SMP Satap Ninjemor, Kamis (08/05/2014).
Tulisan tersebut ditulis oleh Seno Hartono yang bisa diakses di halaman web kemendikbud.go.id.
Bapak Menteri yang terhormat. Insya Allah kemuliaan adalah milik panjenengan. Benarkah bahwa bangunan-bangunan sekolah disana itu relatif bagus? Maka ijinkanlah saya memperlihatkan salah satu fakta yang luput dari kunjungan kerja Anda kemarin, mungkin tim dokumentasi Anda atau rombongan Anda tidak sempat melintas disana. Silahkan perhatikan foto dibawah ini!
[caption id="attachment_307050" align="alignnone" width="960" caption="Siswa SD. Negeri Wamipirime dan gubuk di belakangnya adalah sekolahannya. Sumber foto: Fb Maruntung Sihombing"][/caption]
Berdasar penuturan kawan saya, Sdr. Maruntung Sihombing kedatangannya dalam rangka mengantarkan undangan Gerakan Membaca 1000 Anak Papua pada 02 Juni 2014 mendatang yang diadakan oleh Program Sarjana Mendidik Di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) Universitas Negeri Medan. Di sekolah tersebut tidak ada fasiltas kecuali papan tulis dan papan absensi. Murid-murid hanya duduk di atas tanah yang dilapisi rumbia. Bukankah mereka anak didik Indonesia juga? Jika demikian apakah layak disebut sebagai sekolah negeri? Yang seharusnya fasilitas itu bisa diadakan oleh pemerintah tentunya.