Awal tahun 2022, pemerintah membuat kebijakan yang membuat banyak pihak terkejut yaitu larangan ekspor batubara. Tentu saja media meliputnya dengan memberi label yang bombastis bahwa Indonesia akan membuat dunia gelap gulita karena menghentikan ekspor batubara.
Bahkan bulan lalu atau tepatnya Desember 2021, Presiden Jokowi berpidato bahwa beliau akan menghentikan ekspor batubara supaya Indonesia bisa meningkatkan value added dari bahan tambang batubara sehingga nilai ekspornya juga bisa lebih tinggi. Suatu niat yang mulia dan tentu saya sangat mengapresiasi hal tersebut.
Tidak perlu waktu lama, negara-negara pengimpor batubara Indonesia pun melayangkan protes akibat kebijakan larangan eksport tersebut. Jepang, Korea Selatan bahkan Filipina juga memprotes kebijakan Indonesia karena mereka memiliki ketergantungan terhadap batubara Indonesia.
Namun, selang 10 hari setelah kebijakan larangan ekspor tersebut, pemerintah membatalkan kebijakan larangan ekspor batubara.
Menurut saya keputusan pemerintah ini merupakan langkah mundur jika dilihat dari beberapa sudut terutama politik dan ekonomi.
Dari sudut  politik.
Ketika presiden pernah mengumumkan akan menghentikan ekspor batubara, maka kebijakan pembatalan larangan ekspor batubara justru setara dengan menelan ludah sendiri yang mana dapat menurunkan marwah pemerintah sendiri. Akan muncul anggapan bahwa leadership pemerintahan Jokowi lemah karena kebijakan yang inkonsisten dan kompromistis. Apalagi, penghentian larangan hampir bersamaan momennya dengan protes dari negara-negara pengimpor batubara Indonesia.
Dari sudut ekonomi.
Pembatalan larangan ekspor mungkin akan memberi dampak positif terutaman kalangan pengusaha batubara, namun justru akan merugikan kebijakan DMO batubara. Alasan pemerintah untuk melakukan larangan ekspor telah saya bahas di sini. Dengan adanya pembatalan tersebut, pemenuhan DMO menjadi sangat sulit, meskipun pemerintah hanya akan membuka keran ekspor untuk pengusaha yang telah memenuhi kewajiban DMO nya.
Tentu saja hal itu yang menjadi masalah, mengingat pada tahun 2021 lebih dari 400 perusahaan batubara yang mangkir dari kewajiban mereka dan masih tetap melakukan ekspor. Hal ini tentu akibat selisih harga yang sangat tinggi yang menyebabkan masih untung bagi mereka untuk tetap membayar denda dan lain-lain nya asalkan bisa ekspor. Karena toh masih menguntungkan.
Inilah mengapa saya menganggap langkah yang ditempuh pemerintah merupakan suatu kemunduran. Pemerintah sebaiknya mengambil kebijakan lain yang lebih meaningful seperti pengetaan pungutan ekspor untuk batubara dengan tarif progresif. Dana yang diperoleh dari pungutan ekspor tersebut dapat digunakan untuk membantu PLN dalam mensubsidi batubara yang harus di peroleh PLN, walaupun saya juga kurang setuju apabila hal ini dilakukan.