Namun kebijakan DMO jangan dijadikan instrumen untuk memanjakan PLN. Sebagai contoh, banyak pengusaha batubara yang tidak bisa memenuhi komitmen DMO mereka.Â
Hal ini dikarenakan adanya perbedaan spesifikasi batubara yang di produksi dengan yang dibutuhkan oleh pembangkit PLN, sehingga mereka harus membayar denda atau dana kompensasi karena tidak memenuhi DMO.
Kementerian ESDM berupaya agar dana yang terkumpul dari pengusaha batubara, yang tidak memenuhi komitmen, DMO dapat digunakan untuk membangun fasilitas coal blending atau pencampuran batubara agar batu bara kalori rendah yang tidak sesuai spek PLN dapat dicampur dengan batubara kalori tinggi sehingga PLN akan menggunakan batubara oplosan untuk pembangkit listriknya.
Hal inilah yang menurut saya keliru, seharusnya kebijakan DMO di integrasikan dengan kebijakan climate change yaitu dalam rangka menurunkan emisi gas rumah kaca.
Jadi dana yang terkumpul dari pengusaha batubara yang tidak sanggup memenuhi komitmen DMO di earmark dengan kebijakan climate change yang selaras dengan kebijakan energi yaitu pengembangan EBT.
Pengembangan EBT membutuhkan dana yang tidak sedikit, apalagi jika pemerintah ingin mengejar target bauran EBT sebesar 25% di tahun 2025.
Dana yang dibutuhkan diperkirakan mencapai US$30 miliar atau lebih dari Rp420 triliun (tergantung asumsi kurs). Angka tersebut cukup fantastis, namun masuk akal mengingat infrastruktur EBT yang belum matang di Indonesia.
Anggaran sebesar itu tidak mungkin di tanggung oleh semuanya oleh PLN maupun negara. Keikutsertaan sektor swasta juga sangat dibutuhkan.
Namun, investasi EBT tanpa mekanisme insentif berakibat pada harga listrik yang mahal, sehingga hal ini dapat membebankan APBN apabila pemerinytah harus menambah subsidi listrik. Di lain sisi, tanpa insentif untuk pengembangan EBT maka sektor swasta juga akan ter-discourage untuk berinvestasi.
Jalan menengah yang terbaik, menurut saya adalah menggunakan dana yang terkumpul dari DMO untuk membiayai pengembangan EBT dengan memberi insentif kepada pihak swasta yang ingin membangun pembangkit EBT.
Selain DMO, pemerintah juga dapat mengenakan pungutan ekspor dengan tarif progresif dimana peruntukan dana yang terkumpul dapat digunakan untuk pengembangan EBT di Indonesia.Â