Bagi yang belum paham B20, ini adalah program kewajiban pencampuran BBM dengan biodiesel dengan komposisi 80% BBM dan 20% biodiesel. Pemerintah mempertajam pelaksanaan program ini akibat bengkaknya defisit pada transaksi berjalan Indonesia pada tahun 2018.
Sebenarnya yang dilakukan pemerintah tidak salah yaitu berusaha mengurangi impor BBM dengan cara memproduksi biodiesel dalam jumlah besar. Program B20 inipun telah dilaksanakan sejak 2016 tapi pencapaiannya selalu tersendat-sendat alias tidak pernah tercapai B20 nya.
Nah disinilah letak permasalahannya. Biodisel Indonesia di produksi dari CPO atau minyak sawit. Produksi sawit Indonesia berdasarkan statistik sawit tahun 2015 mencapai 30 juta ton untuk tahun 2016 (prediksi). Entah tercapai atau tidak tapi yang jelas Indonesia adalah produsen CPO terbesar dunia dengan market mencapai lebih dari 50%.
Berarti supply CPO dunia sebagian besar berasal dari Indonesia. Untuk konsumsi domestik, hanya dibutuhkan sekitar 5 juta ton per tahun dimana konsumsi ini termasuk minyak goreng dan produk turunan CPO lain tapi tidak termasuk biodiesel. berarti masih banyak spare untuk produksi biodiesel.
Konsumsi diesel kita untuk sektor transportasi sekitar 30an juta kilo liter tahun 2016. Berarti untuk menganti 20%nya dibutuhkan sekitar 6 jutaan KL biodiesel.
1 ton CPO dapat memproduksi sekitar 900 liter biodiesel tapi kita bulatkan saja menjadi 1:1 sehingga dibutuhkan sekitar 6 juta ton CPO untuk memproduksi biodiesel. Dengan produksi CPO Indonesia yang 30 juta ton, konsumsi domestik non biodiesel 5 juta ton, maka kita punya lebih dari cukup produski CPO untuk memenuhi target B20.
Tapi tidak semudah itu. Diluar konsumsi domestik yang 5 juta ton, produksi CPO kita di ekspor dengan pasar utama RRT, India, USA dan UE. Selama ini pemerintah mengerem laju ekspor dengan menciptakan permintaan domestik yaitu program B20 dengan mengenakan bea keluar terhadap produk CPO dan turunannya secara progresif.
Selain itu, ada juga CPO fund yaitu dana perkebunan kelapa sawit yang diambil dari pungutan ekspor atas CPO dan produk turunannya. Perbedaan bea keluar dan pungutan ekspor ini adalah jika pungutan ekspor dikenakan untuk setiap produk CPO dan turunannya yang diekspor, bea keluar hanya dikenakan jika harga internasional CPO kita semakin tinggi, diatas 700 USD/ton nya.
Kenapa program B20 ini tidak pernah tercapai targetnya? Cukup pakai analisa tukang sayur saja, kalau ekspor CPO sudah menguntungkan, ngapain juga produksi biodiesel. Sebagai informasi tambahan, semua perusahaan biodiesel di Indonesia adalah merupakan bagian dari perusahaan kelapa sawit besar seperti Wilmar, Musim Mas dan Sinar Mas.
Dengan kondisi ini, pengusaha sawit bisa dengan mudah memilih mana yang lebih menguntungkan menjual CPO ke luar negeri atau memproduksi biodiesel. Fakta bahwa target B20 tidak pernah tercapai membuktikan bahwa menjual CPO jauh lebih menguntungkan daripada memproduksi biodiesel walaupun sudah ada restriksi macam-macam.
Nah, pemerintah dalam rangka menyehatkan neraca perdagangan berusaha agar progam B20 bisa tercapai bahkan sekarang menerapkan sanksi apabila ada pengusaha biodiesel yang tidak mau memproduksi biodiesel. Disini bisa terlihat sebuah blunder yang akan diciptakan oleh pemerintah.