Jika diasumsikan harga airnya adalah Rp200/liter maka nilai yang didapat dari penjualan air tersebut per unit evaporator adalah Rp864 milyar/tahun. Sehingga jika diasumsikan sebuah pabrik memiliki 1000 unit evaporator dan menjual produk utama berupa garam dan air bersih dimana garam dijual seharga Rp1000/kg dan air Rp200/liter serta mengeluarkan biaya lain-lain berupa gaji pegawai dan overhead sekitar Rp10 milyar/tahun. Maka profit dari industri ini bisa mencapai Rp12,6 milyar/tahun dengan lahan tidak sampai 1 hektar.
Ide ini memang sangat radikal karena terus terang saya belum pernah dengar ada industri garam yang menggunakan teknologi vakum. Tetapi industri lain yang menggunakan teknologi vakum sudah ada seperti industri gula, industri pengolahan limbah cair dan industri pengolahan air bersih di luar negeri ya. Kalau di Indonesia satupun belum ada. Teknologi ini selain mengunakan lahan yang tidak banyak, juga low maintenance dan low labor cost dalam artian padat modal bukan padat karya. Industri yang menggunakan teknologi ini juga akan menimbulkan dampak bagi industri yang sudah existing yaitu industri garam yang pengolahannya oleh petani garam dan industri AMDK (air minum dalam kemasan). Dengan kata lain, jika industri ini muncul maka akan menimbulkan efek disruptif kepada industri lain yang sudah besar dan mapan.
Terkait dengan efek disruptive, saya tidak kawatir dengan industri garam karena petani garam dapat menggunakan tambak mereka untuk melakukan budidaya udang atau ikan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dari garam. Bahkan mereka dapat lebih fokus untuk di usaha tersebut tanpa pusing mikirin cuaca. Sedangkan PT Garam malah bisa menggunakan lahannya untuk industri lain berbasis maritime yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi seperti budidaya udang, rumput laut dan lain-lain.
Industri AMDK lah yang akan benar-benar terdampak oleh industri baru ini karena dengan adanya pabrik yang memiliki 1000 evaporator maka produksi air bersihnya dapat mencapai 4.300 M3 atau 4,3 milyar liter air bersih per tahun. Jika dibandingkan dengan produksi total AMDK tahun 2015 sebesar 21 milyar liter, maka industri baru ini akan menjadi musuh baru bagi industri AMDK lain yang sudah mapan. Apalagi jika industri baru ini malah menjadi pemasok air minum langsung ke konsumen melalui pipa sehingga bisa langsung minum air dari keran.Â
Di sisi lain, kita juga bisa lihat tempat dimana air minum tersebut diperoleh, daerahnya menjadi kekurangan air, penduduk setempat kesulitan mengakses air bersih bahkan daerah yang dulu banyak lahan pertanian malah jadi alih fungsi karena banyak mata air yang hilang. Sehingga apabila industri baru ini menyebabkan beberapa pabrik AMDK gulung tikar setidaknya akan berdampak positif terhadap penduduk yang lingkungannya di rusak oleh industri AMDK. Â
Satu lagi yang akan terimbas adalah para importir garam, karena jika ada 40.000 unit evaporator maka produksi garam kita menjadi 5,7 juta ton/tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan domestic bahkan surplus karena kebutuhan domestik kita adalah 4,2 juta ton/tahun dan hanya butuh 40 hektar lahan dan berkurangnya eksploitasi air tanah.Â
Tetapi, sekali lagi adanya 40.000 unit evaporator justru akan menciptakan 17,2 miliar liter air minum sehingga dapat dipastikan pasar AMDK akan semakin terdistorsi oleh air hasil distilasi. Sehingga dampak lain yang muncul akibat dihajarnya industri begal garam (baca: importir) dan AMDK yang kemungkinan ada yang akan gulung tikar, adalah munculnya penganguran, tapi akan dibahas di tulisan yang lain. Hitungan-hitungan yang saya buat pun merupakan hitungan kasar terutama dari besaran lahan.Â
Walaupun saya yakin 40 ribu unit evaporator tidak akan memakan lahan sampai ribuan hektar, mungkin bisa mencapai 100 hektar mengingat diperlukannya lahan untuk storage dan lain-lain. Tapi yang pasti investasi yang saya bicarakan untuk industri ini adalah milyaran dan semoga saja tidak mencapai trilyun.
So, tertarik untuk mencoba usulan saya? Â
Referensi:
http://marketeers.com/tahun-2016-aqua-bangun-dua-pabrik-baru/