Mohon tunggu...
Ayatullah Nurjati
Ayatullah Nurjati Mohon Tunggu... Guru - penikmat seni, pencinta Aquscape, Penggiat Teater, Penikmat musik Dangdut, Pemancing Amatir

Pernah ngeleseh selama 3 tahun di Jogja, penikmat dan pengamat seni. Pernah Bergiat di teater Plonk STIBA Jakarta Internasional, dan tutor sastra pada Forum Lingkar Filsafat dan Sastra KOPLIK Ciputat, Pernah bergiat di berbagai LSM. Pernah menjabat menjadi Ketua Senat ABA YPKK-STBA Technocrat 2001-02 dan pernah pula menjabat sebagai pimpred Communicado Press (sebuah wadah penulis muda). Aktif menulis di berbagai surat kabar terkemuka di Jakarta dan daerah. Pernah menjadi Ketua wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris SMK Jakarta Barat 2. Pernah mengajar terbang di Beberapa Kampus Terkemuka di Jakarta. Saat ini menjadi tenaga pengajar di SMK Negeri di Bilangan Jakarta Barat. Sedang menulis sebuah kumpulan cerpen (berujung besi) dan menyelesaikan Novelnya yang berjudul Cinta Cyber--Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penari Ndolalak

21 Oktober 2023   06:55 Diperbarui: 21 Oktober 2023   07:12 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apabila berlatih olah vocal atau bernyanyi amatlah merdu mirip artis kenamaan India yakni kajol. Mungkin ketika usianya masih ranum jika ditilik saat itu mungkin sang Bunda yang bernama Wartini menjadi incaran para jejaka di kampungnya kala itu dan beruntung sekali memang Pak Sugiyono mendapatkan istri seorang sinden nan cantik jelita dengan suara nan merdu seolah melekat di diri istrinya tercinta.

Buah kasih pernikahan mereka berdua hanya mendapatkan seorang putri nan cantik jelita. Dialah Sutari yang kebanyakan orang memanggilnya "Tari" kalaulah ditilik memang teori konvergensi sang pendidik Nasional ini yakni KI Hajar Dewantoro memanglah tepat bahwa darah orangtuanya yang memang konsen dan nyemplung di dunia seni dengan kontrak sosial yang mendukung seolah sinkron dengan pengejewantahan jati dirinya sebagai seorang penari sebagai bentuk eksistensi dan konsistensi.

Bukan karena etika dan logika, akan tetapi karena unsur seni yang melekat dirinya dimana ia terlahir dari keluarga seniman, Ayah dan bundanya pun tak pernah memaksakan akan berprofesi apa kelak nanti ketika ia dewasa, pada awalnya ketika pulang sekolah ketika masih di bangku Sekolah Dasar, Ia selalu tak pernah ketinggalan hanya untuk melihat sesi latihan tari Dolalak, Ndolalak ataupun apalah sebutan namanya jika merujuk kepada suatu kesenian peninggalan Belanda yang nampaknya Ada unsur magis menyeruak ketika pertunjukkan berlangsung.

Dimana para penarinya akan mengalami kesurupan dan bukanlah trance kalau boleh meminjam istilah Sigmund Freud sebab memang berbeda pemahaman dan prakteknya. Kalau dilihat, disimak dan diperhatikan betul-betul penari yang kesurupan tidak beritme dan terdapat mahluk asral yang ikut campur tangan kalau trance memiliki pola khusus sesuai dengan arah sang terapis dan tiada campur tangan mahluk halusnya. Istilah yang sering orang salah kaprah melihatnya secara esensi. Kesurupan disini jelas membutuhkan sebuah media baik wewangian atau sesajen. Dengan begitu penari akan mengkonsumsinya entah memang lapar atau memang yang mengkonsumsi sesajen itu adalah mahluk asral.

Dulunya penari Doalalak, kata para tetua disana yang menari adalah para lelaki bukan perempuan seperti sekarang. Pergeseran entitas, Akan tetapi tidak mengurangi rasa, cipta dan karsa dari kesenian tersebut. Mungkin emansipasi mendorong sebuah ikhtiar seni untuk melahirkan nuansa baru dalam hal kesenian, sehingga para perempuan juga sekarang turut berpartisipasi.

Ayahnya ketika memperhatikan hobi dan konsen anaknya pun dari masih kecil hingga dewasa tak pernah melarangnya. Biarlah kiprah dan nasib anaknya nanti ditentukan oleh anaknya kelak, begitulah anggapan sang ayah karena tahu betul runutan dan perkembangan seni tari tersebut di desanya. Yang meski begitu ia malah tak pernah mundur untuk belajar dan terus belajar hingga benar-benar ia masuk dalam sanggar tari itu. Lokasi yang terbilang tidak jauh dari rumahnya dan guru tari yang seolah friendly dan telaten dalam melatih tari dan teman-temannya di kampung itu.

Dan perjuangannya tak sia-sia. Ia selalu menjadi pusat perhatian karena memegang posisi penting dalam sendra tari tersebut. Genap 8 tahun Tari berlatih sehingga ia benar-benar mahir dalam pertunjukan seni tari tersebut. Ketika sedang tampil, Klobot atau Rokok Sintren yang ia hisap sembari menari menanggalkan Hasrat ribuan mata para penonton, Lenggak lenggok tubuhnya nan sintal memberi kesan anggun padanya. Siapapun engkau akan terkesima melihat atraksinya.

Siapapun anda yang melihat atraksinya tak akan pernah berkedip karena begitu indah sendra tari yang ia tampilkan seolah menjadi soul dalam setiap pemeranan yang selalu ditampilkan oleh group sendra tari tempat ia mencari rejeki.

* Penulis Pernah ngeleseh selama 3 tahun di Jogja, penikmat dan pengamat seni. Pernah Bergiat di teater Plonk kampus terkemuka di Jakarta, dan tutor sastra pada Forum Lingkar Filsafat dan Sastra KOPLIK Ciputat, Pernah bergiat di berbagai LSM. Pernah menjabat sebagai pimpred Communicado Press (sebuah wadah penulis muda). Aktif menulis di berbagai surat kabar terkemuka di Jakarta dan daerah. Pernah menjadi Ketua wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris SMK Jakarta Barat 2. Pernah mengajar terbang di Beberapa Kampus Terkemuka di Jakarta. Saat ini menjadi tenaga pengajar di SMK Negeri di Bilangan Jakarta Barat. Sedang menulis sebuah kumpulan cerpen "Desa Penari" saat ini aktif menulis di situs penyair dunia berbahasa Inggris

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun