Oleh: Ayatullah Nurjati *
      Di sebuah pedesaan jauh dari hiruk pikuk pusat kota ada kesenian turun temurun telah dilakukan di desa itu. Memang desa itu adalah desa penari, kebanyakan warganya juga adalah seniman sebagai mata pencaharian mereka.
Di desa itu juga ada 2 dalang kondang yang sudah barang tentu terkenal seantero kabupaten, kecamatan di bilangan wilayah Jawa Tengah bahkan juga sering dipanggil untuk tampil di HUT RI, acara-acara besar atau hajatan di luar Kabupaten hingga provinsi baik di Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Yogyakarta. Malah pernah juga mereka diundang untuk tampil ke keduataan besar Negara-negara sahabat sampai manca negara.
Hal itu tak bisa lagi dipungkiri bahwa ketika kau melewati sudut desa seolah akan terdengar para warga desa yang berlatih untuk pementasan seni, sinkron sekali dengan alunan indah para anak-anak desa yang belajar membaca Iqro, Juz'ama dan Al-Qur'an dengan lantunan indahnya di malam hari.
Ada pula yang menjadi pemain ketoprak, crew dalang dalam pertunjukkan wayang atau perempuan-perempuan disana kebanyakan juga jadi berprofesi sebagai sinden yang setiap seminggu sekali latihan sebelum ada bookingan penampilan wayang. Sebuah difusi antara Agama dan budaya amat kentara terlihat disana.
Sandiyo dalam logat jawa ngoko adalah nama desa tersebut yang memang merujuk pada sebuah kata benda yang merujuk kepada bahasa Jawa Kuno yang merujuk kepada kata yang ditinjau dari etimologis yang berarti "Seni" atau bilamana ditinjau dari terminologisnya maka akan anda temukan dari mesin pencari google bahwa seni meliputi banyak kegiatan manusia dalam menciptakan karya visual, audio, atau pertunjukan yang mengungkapkan imajinasi, gagasan, atau keprigelan teknik pembuatnya, untuk dihargai keindahannya atau kekuatan emosinya.
Sandiyo diapit oleh gunung besar menjulang di antara 2 kabupaten dan 2 provinsi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hal ini amat sangat mendukung bilamana ditinjau dari sudut ekologis ataupun ekonomi jelas amat sangat menguntungkan dimana 2 budaya bertemu baik dari segi bahasa jawanya yang walaupun ngoko akan tetapi masih ada percampuran antara bahasa Jawa versi ngapak sebutan bahasa kasar Jawa daerah di wilayah cilacap, Banyumas, Tegal Hingga Kebumen dan ngoko sebutan bahasa halus di wilayah inilah Jawa Tengah dari wilayah Temanggung, Magelang hingga ke selatan Yogyakarta kemudian masuk lagi hingga Solo dan sekitarnya.
Meskipun demikian itu itu hanyalah klaim dan fakta karena pada faktanya dialek itu digunakan hanya untuk ragam penggunaan sehari-hari, hal inipun akan berujung pada penggunaan Krama Madya atau Krama Inggil untuk berinteraksi kepada tetua ataupun sebuah kontrak sosial antar manusia sebagai bentuk penghormatan kepada orang lain pada penggunaan bahasa formal. Sebuah budaya yang tinggi cita rasanya.
Sebut saja salah satu gadis cantik belia yang biasa dipanggil Tari adalah seorang penari Ndolalak. Di usianya yang milenial dan belum genap berusia 20 tahun dengan paras cantik mungkin karena memang terlahir dari turunan Ibundanya nan cantik jelita dan Ayahnya berwajah ganteng, bersatus lajang dan menjadi banyak incaran para pria beristri dan pria lajang. Perawakannya yang tomboy tidak mengurangi keanggunannya Ketika ia menari. Celana pendek yang menempel pada kedua belah pahanya sinkron dengan kulitnya nan kuning langsat
Anehnya keluarganya semua berdarah seni. Entah memang turunan atau memang kebeteluan bahwa sang ayah merupakan salah seorang pemain ternama ketoprak di kampungnya yang sering sekali malang melintang di dunia pertunjukkan sandiwara yang menangkat tema dan judul-judul di seri perwayangan seperti Mahabarata, Ramayana atau cerita-cerita lain dalam pertunjukkan ketoprak. Acapkali sang Ayah yang bernama Sugiyono mendapat peran penting dalam setiap pertunjukkan, wajar saja karena dasar bela diri yang dimiliki oleh sang Ayah, terkadang ia berperan sebagai Rama atau Arjuna atau tokoh-tokoh protagonist dalam pementasannya.
Memang sang Ayah kalau ditilik-tilik mirip dengan Uko Uwais kalau masih mudanya. Sementara sang Bunda adalah seorang sinden nan cantik jelita paruh baya meskipun sudah lebih berusia setengah abad akan tetapi guratan kecantikannya seolah tidak pernah pudar dimakan usia mungkin karena sering mengkonsumsi jamu atau luluran.