Munculnya muslim abangan,  bisa juga disebut muslim musiman , seorang Islam dengan sikap dan selera yang berobah robah.  Gampang terpengaruh oleh situasi dan kondisi yang terjadi, ibarat sebangsa reptil "Bunglon" yang mudah berubah. Muslim abangan,  bahkan lebih dari sekedar bunglon yang melata, karena Muslim abangan tak punya prinsip hidup dan tak bisa bisa hidup dalam satu warna. Sebagaimana sikap sikap kelompok muslim terjadi di indoensia, terdapat diantara kelompok muslim yang tak bisa berdiam diri atau tak bisa mengendalikan diri, mudah terbawa susana lingkungan yang kontradiktif , bukan muslim yang bisa menciptakan  dan menawarkan solusi terhadap lingkungan, tetapi muslim yang beradaptasi dan bermesraan dengan lingkungan karena sika sikap toleran berlebihan.
Titik awal sejarah kehadiran agama Islam dan umatnya adalah perobahan pola pandang, sikap hidup  dan keyakinan.  Perobahan fundamental "kebaktian dan ketaatan" yang pada mulanya pada berkeyakinan, pentingnya Lata, Uzza, Manath dan Hubal sebagai media pendekatan pada Tuhan (konsep paganis), dirobah menjadi  sikap tauhid (pengesaan tuhan) yang hanya "Allah" semata tujuan segala sikap bakti dan taat. Sebagai pelengkap risalah penghapusan tradisi jahiliyah, Islam melahirkan aturan aturan, berupa teologi "tazkiyah" (pembersihan jiwa) dari konsep ajaran  paganis yang tak terhitung jenisnya di jaman itu. sungguh luar biasa apa yang terjadi kala itu hingga mengundan reaksi dari penganut tuhan tuhan paganis. Hal lumrah sebagai asas pengabdian ditentukan pula bentuk pengabdian pada tuhan seperti shalat melalui lisan rasul-Nya.
Tetapi yang terjadi di Indonesia, merupakan keyakinan muslim yang bertolak belakang dengan teks teks perjalanan sejarah Islam warisan abad pertama. Gelombang pemikiran dan kebijakan umat Islam mengalahkan Islam itu sendiri oleh akibat "fiqih" (pemahaman) dialogis yang salah kaprah. Bukan lagi Islam yang menjadi pijakan menentukan perobahan arah, tetapi bagaimana membawa islam sesuai dengan keadaan. Misalnya Islam Madura, Jawa, sumatra, Kalimantan, Bali, dibuat sedemikian rupa dengan Innovasi kedaerahan, sehingga akibatnya mana yang Islam tidak menjadi jelas. Yang ada adalah muslim yang menjunjung tinggi ajaran kebanggan nenek moyang, sedangkan ritualnya diambil secara acak dari Islam.
Mendadak kembali lagi pada zaman Jahiliyah, menuhankan batu batu nisan dengan suatu keyakinan whasilah bertaqarrup pada Allah. Orang orang kelas yang meninggal menjadi tumpuan utama mengunduh berkah, menyalurkan keinginan dengan jasa washilah orang mati. Diebutlah dalam ritual kuburiyun sebuah tembang yang disusun rapi oleh penggagasnya, sebagai Implementasi kecintaan pada "wali wali Allah" itu alasan dan pembelaan mereka. Mereka reka argumen menjadi teori mengalahkan musuh dari kalangan anti paganis. Seperti kata "bid'ah" dan "syirik" misalnya bagaimana agar tidak terlalu kejam menghukumi orang islam yang melakukannya (mengamalkannya), maka andalan mereka menakar dari sisi bahasa dengan alasan yang dicari dalam rangka menyelewengkan arti dan makna yang sebenar. Akhirnya kata "bid'ah" diartikan "Inbovasi" dan syirik diartika bila menyekutukan Allah dengan Tuhan lain, padahal tidaklah demikian dalam Islam.
Juga Islam abangan dengan alasan Pluralisme, menutup pintu golongan yang dianggap merongrong  Islam abangan yang senang dengan bid'ah, kalau perlu membuat catatan sejarah palsu untuk membenarkan tindakan penghapusan terhadap paham yang bersebrangan, tetapi dsisi lain berstandar ganda membela dan bersahabat dengan mereka yang salah, selama tidak merongrong paham mereka. Ini biasa, selalu menjadi obyek golongan tertentu yang  agitasi membela sisa sisa peninggalan nenek moyang sebelum adanya Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H