Mohon tunggu...
Ayatulloh Marsai
Ayatulloh Marsai Mohon Tunggu... Guru - Guru, Mengajar di Al-Khairiyah Karangtengah - Cilegon

Pendiri Komunitas Literasi Damar26

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menata Banten Lama dari Sekolah

7 April 2011   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:03 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Ayatulloh Marsai

Menarik sekali tajuk yang diangkat oleh Banten Raya Post, 2 Maret 2011, "Menata Banten Lama". Menarik, karena fenomena menata Banten Lama bukan hal baru. Tapi sudah di kumandangkan sejak Banten resmi menjadi provinsi tersendiri dari Jawa Barat. Namun, dari dulu sampai sekarang masalahnya masih kurang lebih sama, kecilnya anggaran, masalah internal dan rendahnya kesadaran masyarakat sekitar menjadi faktor penghambat berlangsungnya penataan tersebut.

Sementara, seluruh masyarakat Banten, bahkan seluruh masyarakat Indonesia, merasa memiliki peninggalan Kesultanan Islam Banten ini. Tertatanya Banten Lama menjadi komplek peninggalan sejarah sekaligus komplek wisata yang rapih, bersih dan nyaman tentu menjadi harapan semua pihak. Kesan yang selama ini tidak dirasakan oleh para pengunjung, baik domestik maupun mancanegara.

Saya pribadi sering berkunjung ke Banten Lama. Sejak kecil, masa sekolah, lebih-lebih masa kuliah (berkaitan jurusan saya Sejarah dan Peradaban Islam), hingga sekarang saya sering membawa siswa saya untuk wisata sejarah ke komplek Banten Lama. Tidak ada kesan indah selama berkaitan dengan pelayanan dan perawatan tempat-tempat bersejarah di Banten Lama ini. Sebaliknya, kesan semerawut dan tidak nyaman oleh keberadaan pedagang dan pengemis-pengemis yang di luar kewajaran. Itu di sekitar Masjid Agung.

Di tempat-tempat bersejarah lainnya, seperti Istana Kaibon, Istana Surosowan, Museum Kepurbakalaan Banten Lama, Benteng Speelwizk, selama belasan tahun terakhir tidak beranjak dari keadaannya semula. Tidak ada perubahan seiring dengan perubahan status Banten menjadi provinsi. Ketika saya tanya sana-sini, sebabnya lagi-lagi warga masyarakat yang tidak mengindahkan himbauan dari petugas. Pemandangan istana menjadi lapangan bola, tempat menggembala kambing, hingga tempat mojok-nya pasangan remaja menjadi pemandangan sehari-hari. Belum lagi, sungai-sungai yang mengelilingi Banten Lama menjadi tempat sampah raksasa paling diminati oleh warga. Ada yang menjadikannya tempat usaha dan ada juga yang terlantar begitu saja dengan semak belukar menyelimutinya. Padahal, sungai sepanjang Banten Lama dulu menjadi kanal-kanal indah yang menjadi jalur transportasi perahu-perahu yang membawa barang dari kapal besar di Karangantu ke istana dan sebaliknya.

Sungguh akan menjadi pemandangan yang indah dan menjadi daya tarik tersendiri bila fungsi sungai itu sekarang direkonstruksi sebagaimana fungsinya semula.

Mimpi ini sekarang terpaut pada rencana Pemkot Serang untuk menata pendapatan asli daerah dari retribusi pengunjung Banten Lama. Pemkot Serang, menyadari betul bahwa Banten Lama adalah potensi pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup besar. Itu dapat dilihat dari perkiraan pengunjung yang datang ke Banten Lama tidak kurang dari 16 juta per tahunnya. Oleh karena itu, Pemkot Serang berencana memungut retribusi dari pengunjung Banten Lama sebesar Rp 1.000. Dengan demikian, penataan kembali Banten Lama tidak hanya tergantung pada anggaran APBN, Pemprov Banten namun sekarang mendapat suntikan tambahan dari Pemda Serang sendiri sebagai pemerintahan yang langsung mengelola wilayah tersebut. Atau lebih sempurna lagi kalau Banten Lama mampu membiayai dirinya sendiri untuk biaya oprasional dan peningkatan pelayanan terhadap para pengunjung, baik peziarah maupun wisatawan sejarah. Tentu saja biaya itu didapat dari pemasukan yang selama ini berjalan atau yang sedang digodog oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Serang saat ini.

Menanam Kesadaran Sejarah di Bangku Sekolah

Semua kendala yang tampak dipermukaan sejak urusan internal, pedagang, hingga warga sekitar Banten Lama, saya kira bermuara pada satu sebab, yaitu rendahnya "kesadaran sejarah". Jika "diagnose" ini disepakati, maka perlu kiranya menanamkan kesadaran sejarah itu kepada masyarakat sekitar khususnya, seluruh masyarakat Banten pada umumnya. Dan, secara sederhana wilayah penyadaran sejarah terbagi pada dua bagian, yaitu sekolah dan masyarakat umum.

Dalam tulisan ini saya hanya akan berdiskusi hal yang pertama, penanaman kesadaran sejarah di sekolah. Saya kira sekolah cukup efektif untuk menanamkan kesadaran sejarah, identitas bangsa, semangat patriotism. Disamping karena kontinuitasnya temu muka antara guru dengan siswa, juga karena usia sekolah adalah usia dimana proses pembentukan identitas diri berlangsung. Salah satu yang bisa menumbuhkan itu semua adalah dengan mengetahui sejarah daerahnya, sejarah bangsanya dan posisi dirinya dalam keterkaitannya dengan sejarah perjalanan bangsa.

Masalahnya, apakah porsi sejarah Banten di sekolah sudah cukup untuk tujuan khusus di sini? Saya kira porsi penyajian sejarah Banten di sekolah tidak cukup untuk penyadaran sejarah lokal dalam istilah Taufik Abdullah (1996).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun