[caption id="attachment_112568" align="aligncenter" width="640" caption="gambar, Sumber:http://images.detik.com/content/2008/08/08/157/pungli3.jpg"][/caption] Lintah saja masih ada kegunaanya sebagai obat terapi tradisional, yang bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, dari asam urat, stroke, kanker hingga jantung koroner sekalipun. Tapi mengapa keberadaan Pak Ogah di hampir ruas jalan Sukasari-Bogor, menjadikannya lintah yang tidak berguna, melainkan menjadikannya penyakit masyarakat yang sulit untuk diberantas. Pak Ogah dimulai dari ruas jalan Sukasari belakang yaitu mereka yang bertugas untuk menyemprotkan pengharum pada setiap angkot yang lewat dengan tarif Rp100,- sekali semprotan. Setelah melewati jalur ini para sopir angkot pun masih dihadang oleh Pak Ogah lainnya yaitu yang bermarkas di halte Sukasari. Dengan gayanya yang sok preman para Pak Ogah ini membawa catatan, sehingga angkot yang lewat pun tidak bisa luput dari kejaran, dan para sopir tidak bisa mangkir dengan alasan apapun. Biasanya jika mereka beralasan baru keluar narik pun Pak Ogah ini mempunyai catatan sendiri sehingga bila pada putaran kedua, angkot tetap harus membayar tarif sebelumnya yang belum dibayar. Pada putaran ini setiap angkot diwajibkan membayar sebesar Rp200,-. Bayangkan dari satu angkot senilai Rp300,- dikalikan putaran angkot, ketika melewati jalur ini dalam sehari bisa mengantungi berapa rupiah Pak Ogah yang kerjanya hanya duduk-duduk saja. Jalur yang dilewati ini terdiri dari tiga trayek, yaitu trayek Cisarua, Cibedug, dan Cicurug. Bisa kita hitung nilai uang yang diraih para Pak ogah ini dengan trayek angkot segitu banyaknya, yang notabene Bogor merupakan kota sejuta angkot. Lain lagi nasib sopir angkutan kota trayek Bantarkemang-Merdeka, mereka lebih besar pengeluarannya jika mereka harus menunggu penumpang di depan daerah Lawanggintung, yaitu yang berlokasi berseberangan dengan kantor PDAM Kota Bogor. Para sopir ini dikenakan pungli sebesar Rp3.000,- setara dengan 1,5 penumpang yang duduk diangkot. Selamat dari jalur ini, tidak jauh beberapa meter kemudian para sopir pun di wajibkan membeli minuman mineral yang disediakan oleh organisasi pak Ogah tersebut. Maraknya pungli dan bermunculannya pak Ogah di sekitar ini sudah bukan merupakan rahasia umum lagi, para sopir angkot yang kebetulan saya tanya selalu menceritakan hal yang sama, bahwa anak-anak ini sebagian adalah anak-anak kolong yang mempunyai backing.Pernah suatu hari ada sopir angkot yang saya rasa perlu saya beri acungan jempol, ketika ia menunggu penumpang di daerah Lawanggintung ini ia menolak upeti sebesar Rp3000,- kepada pak ogah yang selalu saya beri julukan si kacamata tersebut. Sehingga kedua orang ini beradu mulut sampai sopir itu pun berujar " Guwa tau siapa backing Lo,,, tapi Guwa nga takut. Sopir ini pun melaju dengan cueknya, Saya pun berujar "bagus mang, emang harus dilawan jangan diem aja... Banyaknya pungli yang terjadi di dalam masyarakat kita tentunya merupakan indikator dari lemahnya sistem pemerintahan kita. Dan lemahnya kontrol dari pemerintah ini banyak masyarakat yang dirugikan.Tidak sedikit dari para sopir ini yang mengeluhkan keberadaan pungli-pungli ini, tapi apa daya para sopir ini tidak bisa menyuarakannya. Menyebarnya lintah-lintah yang menjelma menjadi Pak ogah ini menjadi hantu bagi sopir angkot, karena semakin banyaknya bermunculan Pak Ogah, semakin besar pula pengeluaran yang harus dikeluarkan para sopir ini. Dari hasil keringat yang para sopir ini Pak Ogah menikmatinya sangat ironi memang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H