Notes:
Maaf, susunannya kacau balau saat saya posting disini, jika ingin membacanya dengan nyaman dan gak bikin sakit mata, bisa melongok postingan ini diblog saya:
http://nurhayanurdin.blogspot.com/2012/01/brain-wash-brain-drain-si-kembar.html
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tadi malam saya baru balik dari liburan tahun baruan diLondon. Masih rada-rada ngantuk dan lelah gitu akibat perjalanan darat yang seingat saya lebih banyakan jalan kakinya selama lima hari disana. Entah berapa puluh kilometer kami jalan mengitari kota London, rasa-rasanya sampai keriting betis ini, hehehe
Anyway, bukan tentang petualangan diLondon atau kemeriahan malam tahun baru 2012 disekitarRiver Thames yg mau saya share kali ini, melainkan kegundahan saya tentang suatu topik yang lagi hangat-hangatnya mejadi perbincangan disebuah milis yang berisi kumpulan orang-orang cerdas Indonesia yang sedang kuliah S2, S3 dan WNI yang menetap permanen di Inggris Raya ini.
Dari judul saya yakin ada diantara Anda yng sudah bisa menebak, apa yg menjadi topik panas sumber kegundahan saya saat ini. Yup, si kembar brain wash dan brain drain yang kata Mbak Wiki dihalaman rumahnya menjelaskan sebagai berikut:
- BrainWash: sebuah pergeseran pola pikir yang terjadi pada individu atau kelompok yang merubah nilai dan kepercayaan, persepsi dan penilaian karena dilatar belakangi oleh alasan politik, finansial, pribadi ataukah agama.
- BrainDrain atau Human Capital Flight: hijrah atauberpindahnya sejumlah orang dalam skala kecil maupun besar ke wilayah atau negara lain, dimana notabene orang-orang ini adalah mereka yang memiliki kepakaran atau skill yang mumpuni dibidang-bidang ilmunya masing-masing, atau orang-orang pintar dan intelek karena sudah mengenyam bangku pendidikan formal disuatu perguruan tinggi diluar daerah atau negaranya. Alasan mereke berpindah paling jamak karena disebabkan oleh dua hal, alasan dari negara (negara berkembang vs negara maju) dan juga karena alasan pribadi (karir, pendidikan anak, keluarga, kesejahteraan).
Jujur saya tidak menafikan bahwa saya pribadi sebagai salah satu orang yang pernah merasakan nikmatnya tinggal cukup lama dinegeri maju juga pernah terfikir, "Keknya lebih enak deh tinggal dan berkeluarga di Australia", atau membandingkan "Coba ya seandainya sistem transportasi Indonesia juga seperti UK", dst. Dan saya yakin hampir setiap orang yang pernah menginjakkan kaki dinegara-negara maju pun sekali dua kali pernah berfikir seperti ini. Hehehe, ayo jujur jujur.....**nodong**
Wajar sekali jika ada terbersit pemikiran seperti itu. Gimana nggak, dinegara maju ini semua terstruktur, sistematis dan nyaman. Lingkungan sekolah dan kampus menyenangkan, fasilitas modern dan lengkap, internet super duper kencang, layanan kesehatan dan sekolah gratis, kebebasan berekspresi dihargai, korupsi minim, gaji tinggi, lingkungan aman dgn CCTV 24 jam, transport cepat dan on time, anak kecil udah jago bahasa asing, dan masih banyak lagi keuntungan lain yang bisa bikin orang-orang dari negara berkembang ngiler dan enggan untuk balik kenegara asalnya, karena melihat kampung halamannya sebagai negara gersang dan kering kerontang, kurang menjanjikan dimasa depan.
Namun terus terang yang membuat saya sedih dan prihatin (nah loh, kok jadi ikut-ikutan dengan istilah Kabinet Pak Beye yah?!) adalah komentar dari beberapa orang dimilis yang berusaha mencari pembenaran A to Z bahwa mereka memilih tinggal diLN karena diIndonesia intelektualitas keilmuan mereka kurang dihargai,  fasilitas penelitian terbatas, dana riset gak tersedia, pemerintah gak peduli, biaya sekolah dan ongkos berobat mahal, anak-anak mereka sudah terbiasa dengan lingkungan diluar takutnya nanti jadi tidak bisa beradaptasi dengan Indonesia, tapi mereka percaya akan selalu tetap menunjukkan nasionalisme dan kecintaanya terhdap Indonesia dengan cara  berkarya dari luar demi kemaslahatan bangsa Indonesia juga. Sekali lagi silahkan saja,  yang penting kata-kata itu tidak hanya sekedar jargon belaka, buktikan ya Pak, Bu!!
Saya sendiri termasuk golongan orang yang lebih senang balik mengabdi ke Indonesia dan malah merasa akan tertantang dengan adanya keterbatasan dilingkungan  sekitar dan  menjadi tergerak untuk melakukan  apapun yang bisa saya berikan sepanajang masih punya akal, hati untuk melihat penderitaan orang lain, badan yang sehat, ilmu dan pengetahuan serta rejeki yang Allah SWT berikan. Naif dan sok idealis kedengaran memang, but that's me! Dan itu gak akan pernah berubah sampai kapanpun.
Saya pernah menghadapi masa-masa sulit sepulang sekolah dari LN, mencoba melakukan perbaikan ditempat kerja saya disebuah Universitas yang diberitakan mahasiswanya paling serinberantem seIndonesia (hiks hiks hiks...kerjaan media nih!). Tantangan menjadi dosen junior yang belum jadi apa-apa, mahasiswa ratusan, jumlah kelas terbatas, fasilitas belajar mengajar sangat amat minim, internet ngos-ngosan, dana pendidikan kurang, metode belajar monoton, dan jumlah pengajar kurang dan gak sebanding dengan rasio ideal yang ditetapkan Dirjen DIKTI.
Berat? pasti!
Menguras energi dan emosi? tentu saja!
Menghabiskan anggaran pribadi demi pembelajaran interaktif, hiks jangan di tanya!
Penolakan karena mengajak berubah, hohohoho makanan sehari hari itu!
Tapi apa itu lantas membuat saya menyerah dan putus asa? Nope! Diawal-awal sempat terpikir untuk mundur dan jadi dosen biasa-biasa saja tanpa pikiran idealis dan muluk-muluk. Tapi saya kemudian sadar , saya gak boleh menyerah, ada yang harus saya evaluasi, bahwa ternyata strategi  pendekatan saya kepihak-pihak yang bisa membantu saat itu yang kurang tepat, saya tidak bisa bekerja sendiri untuk merubah sebuah sistem yang sudah mengakar. Ilmunya sudah bagus, niat dan tujuannya juga jelas, namun butuh adaptasi dan dukungan dari lingkungan sekitar dan tentunya metode yang lebih menyentuh akar budaya mahasiswa Timur. Oleh karena itu, saya mundur pelan-pelan sambil mengatur strategi serta mencari orang-orang yang memiliki visi yang sama.
Alhamdulillah, untuk apapun yang niatnya baik pasti Allah SWT akan menunjukkan pertolonganNya. Hasilnya memang tidak langsung drastis terlihat secara kasat mata oleh teman-teman sejawat, tapi kebanggaan terbesar saya muncul saat mendapat apresiasi dari mahasiswa yang menjalani proses perubahan tersebut dan merasa mendapat wawasan baru dari metode belajar yang belum pernah terpikir sebelumnya. Selain itu pimpinan juga memberi kepercayaa penuh dalam pengelolaan mata kuliah yang sebelumnya bagi mahasiswa merupakan mata kuliah yang "sangat amat tidak manarik" menjadi mata kuliah favorite dalam setiap evaluasi akhir semester. Ah, rasanya hari hari frustasi dan malam-malam penuh tangis dan doa jadi terbayar manis dengan pengakuan-pengakuan tersebut.
Keterbatasan akan memacu seseorang menjadi lebih kreatif dan dinamis jika mereka melihat itu sebagai tantangan, bukan sebaliknya sebagai masalah. Bagi yang Anda yang beruntung pernah tinggal LN dan melihat praktek yang ideal dinegara tsb, pasti dong terbersit harapan suatu hari nanti Indonesia bisa seperti itu. Ilmu yang kita dapat ini harus juga bisa bermanfaat bagi masyarakat Indonesia dan mereka yang belum memiliki kesempatan melihat betapa maju dan modernnya negara-negara kaya tersebut. Frustasi karena lingkungan menolak perubahan adalah normal bagian dari perjuangan itu. Tapi jangan karena kefrustasian itu membuat Anda  malah lari dari negara sendiri dan menyalahkan politik Indonesialah, pemerintah koruplah, gaji kuranglah pimpinan tidak suportiflah, fasilitas kuno dan minim, gak bisa penelitianlah, dan masih banyak lah lah lainnya sebagai kambing hitam. Ilmu terbarunya udah ada ditangan, nah sekarang tinggal gimana ilmu ini bisa menjadi lebih aplikatif dan berguna jika diterapkan dinegara kita sendiri. Sejelek-jeleknya, sekorup-korupnya dan semiskin-miskinnya negara kita, Indonesia tetap kampung halaman dan ladang amal bagi kita untuk berbakti!! Kreatif dikit laaah....., jangan bisanya hanya mengeluh dan menuntut apa yang bisa diberikan negara kepada kita. Iya gak?! **wink wink**
Mungkin bagi para pengusaha Indonesia diLN, bisa membantu pengusaha-pengusaha muda Indonesia  memperkenalkan produk-produk lokal dan usaha kecil dalam negeri dengan cara ekspansi ke pasar Internasional. Ataukah peneliti-peneliti Indonesia diLN bisa membantu peneliti-peneliti Indonesia dalam mencari sponsor untuk melakukan penelitian-penelitian dalam negeri demi mencari solusi nyata bagi permasalahan diberbagai aspek kehidupan Indonesia saat ini (pendidikan, kesehatan, transport sistem, perekonomian, hukum dll).
Hummph...tapi susah Ya', itu skalanya gede, butuh modal besar lagi! **tangkisan sceptical tought**
Oke, jika langkah itu terlalu luas dan sulit untuk dicapai, kita cari yang lebih simpel.
Karena basic saya dari pendidikan dan keperawatan, mungkin saya lebih tertarik menggalang solidaritas mengetuk hati mahasiswa Indonesia dan WNI disini jika terjadi bencana alam ditanah air, mengumpulkan sumbangan pound demi pound untuk bisa dibelikan barang-barang kebutuhan korban bencana alam diIndonesia.
Cara lainnya lagi yang paling saya suka banget adalah mengumpulkan buku-buku bekas yg bisa didapat disini dengan harga yang sangat murah diCharity shops atau Book Fair. Buku ini bisa disumbangkan ke NGO atau komunitas penggiat baca bagi anak-anak yang kurang mampu diIndonesia. Sehingga anak-anak ini pun punya kesempatan untuk mengenal dunia luar dengan membaca bahwa dunia ternyata sangat luas dan kelak ilmu itu bisa digunakan untuk mengeluarkan dirinya dan keluarganya dari jurang kemiskinan. Kita juga tidak akan pernah tau jika ternyata satu diantara buku bekas yng kita sumbangkan tersebut ternyata memberi inspirasi bagi seorang anak dari pedalaman untuk bercita-cita melanglang buana menuntut ilmu ke negara lain. Hanya gara-gara sebuah buku bekas yang dibacanya lho.
Ini pengalaman pribadi saya, saat saya masih duduk dibangku kelas 3 SD. Atas kebaikan hati seseorang, saya diperbolehkan membaca sebuah buku cerita anak karya penulis Denmark, Hans Cristian Andersen.  Buku itu berisi koleksi cerita dari seluruh dunia, dan didalamya berisi pesan-pesan moral untuk selalu menolong dan berpikir postif dalam berbagai situasi yang tidak menguntungkan. Mengingat keterbatasan akses informasi dan transportasi daerah dimana saya lahir dan besar disebuah kota kecil diPapua Barat mid 80-an, rasanya sangat sulit bagi saya sebagai anak untuk meminta orangtua membelikan buku cerita bergambar atau ensiklopedia tipis tantang dunia selain buku pelajaran sekolah. Meskipun orangtua saya mampu, toh tetap akan sulit menemukan buku sejenis didaerah yang transportasinya hanya bisa dijangkau melalui kapal pelni 2 x sebulan ini. Yang jelas buku itulah awal persentuhan saya dengan dunia luar, yang menjawab kehausan saya akan pengetahuan, dan membuat saya terpacu belajar ditengah keterbatasan dan lingkungan yang kurang mendukung. Buku yang mungkin sekarang gampang ditemui diGramedia seharga puluhan  ribu, namun menjadi hadiah sangat berarti di awal kehidupan saya dan membuat saya berani bermimpi untuk melihat dunia diluar sana. Jadi, jika ada ajakan untuk menyumbangkan buku oleh rekan-rekan NGO bagi anak-anak dipedalaman atau anak tidak mampu, saya tidak akan pernah ragu untuk untuk ikut andil.
Selain itu mungkin bagi yang punya bakat menginspirasi orang lain dan ngumpulin orang baik didunia nyata maupun dunia maya, mungkin bisa jadi inisiator untuk gerakan membangun dan mencerdaskan bangsa. Udah banyak contohnya kok, ada  gerakan "Indonesia Mengajar" yang dipelopori oleh Anies Baswedan bagi kemajuan anak-anak dipedalaman sana, Sekolah Master (MASjid TERminal) bagi anak-anak jalanan yang dipelopori oleh Pak Nurochim didaerah Terminal Depok, ITS goes to School, Save Street Child Surabaya, Gerakan Mahasiswa Mengajar, Gerakan Nasional Bikin Pintar Anak Pesisir Indonesia (GNBPAPI), atau siapa tau ada yang tertarik untuk join diKomunitas Epilepsi Indonesia (KEI)? Group dukungan bagi Penderita Epilepsi di Indonesia untuk menghilangkan stigma negatif penyakit susunan saraf ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang masih percaya dengan msitis dan hal-hal supranatural. Group ini sudah saya bentuk sejak setahun lalu, dimana  group ini adalah media tempat para penderita epilepsi maupun keluarganya bertukar informasi dan saling memberi support demi kesembuhan penyakit dari anggota keluarga mereka yang menderita Epilepsi. Sejauh ini sudah ada sekitar 600-orang yang gabung diKEI, dan mudah-mudahan kedepannya akan bertambah lagi, Amien YRA.
Ide lainnya lagi mungkin bisa dalam bentuk sharing informasi. Mereka yg tinggal diLN punya akses internet cepat dan akses database informasi yang luas. So, yang bisa dilakukan adalah mempermudah sharing informasi berguna melalui email, milis, social network ataupun blog, agar rekan-rekan diIndonesia pun bisa cepat tahu bahwa disebuah negara maju sono telah ditemukan sebuah metode baru menyembuhkan penyakit kronis yang menjadi momok dinegara kita, ada teknologi tepat guna yang bisa diterapkan untuk sawah yang minim air, attaukah berbagi jurnal teknik cepat  dan murah untuk proses penyembuhan luka gangren diabetes, info beasiswa bagi mahasiswa dinegara berkembang, current news, dll. Masih banyak ide lainnya sih, namun kepanjangan kalo mo ditulis semua disini, hehehe....
Nah, alasan yang paling tidak bisa saya terima adalah jika ada orang cerdasnya Indonesia yang memilih berkarya diLN dengan alasan keluarga ataupun karir yang lebih menunjang. "Kasihan, anak-anak lebih suka tinggal disini, nanti gimana kulitas pendidikannya kalo balik keIndonesia".
Itu berarti mereka lebih memikirkan kepentingan dirinya pribadi ketimbang kemajuan bangsa. Ada beberapa orang penerima beasiswa yang pernah saya dengar sendiri mengatakan, mereka memilih LN untuk kelanjutan pendidikan dan karir anak-anaknya karena disana lebih kondusif dan anak tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif. Excuse moi, apa saya tidak salah dengar Maam? Apa itu menandakan orang Timur perilakunya lebih buruk dibanding orang Barat? Kebebasan berekspresi, alkohol, free sex, Hedonisme, Konsumerisme dan Atheis dianggap jauh lebih cool dan berharga untuk diamati  dan daialami anak ketimbang belajar tata krama, moral, beragama, sopan santun, keramahan, respek pada orangtua??
Ckckckck...sungguh kasihan sekali kalo seperti itu. Jangan salahkan lingkungan Indonesia dong! Tanya diri Anda sebagai orangtua, sudahkah Anda menjadi orangtua panutan bagi anak Anda? Apa Anda yakin anak-anak rusak begitu saja karena lingkungan sekitarnya dan bukan karena kelemahan Anda sendiri yang tidak mampu membuat batasan tegas mana yang benar dan mana yang salah? Mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak? Bukankah pendidikan pertama anak sejak lahir dimulai dari rumah dengan orangtua sebagai gurunya?!
Coba perhatikan foto-foto FB beberapa mahasiswa Indonesia diLN yg anda kenal, yang mungkin saat diIndonesia mereka adalah anak-anak santun, alim dan baik, namun setibanya disini menjadi liar, lupa sholat, bahkan mulai berperilaku seperti layaknya orang Barat yang setiap weekend dugem dan mabuk-mabukan, padahal jelas-jelas ybs menuliskan muslim atau Islam dikolom agamanya. Tanpa merasa bersalah dan dengan bangganya memperlihatkan foto-foto mereka yang berpakaian minimalis kalo gak mau dibilang hampir telanjang, dandanan menor, merem melek dilantai pub sambil memegang gelas wine atau botol beer, sebatang rokok putih diselip dijari tangan supaya dibilang keren dan gaul. Duuh....., ini ortunya ngajarin apa aja  sih selama ini??? Kasihan betul anaknya, jadi korban ketidakbecusan orangtua yang belum bisa memberi fondasi kuat bagi anak-anaknya sebelum mereka dilepas ke alam nyata **iiih...hantu dong berarti**
Anak-anak ini mau dibilang keren, tapi gak tau dibagian mana kerennya karena merusak diri. Sok ikut-ikutan kebarat-baratan gitu. Bahkan ada yang malu kalo ketahuan punya agama! Astagfirullah aladzhiiim!! Iiih! gemes banget deh pengen ngejitak!
Dan coba sekali-kali tanya mereka, apa rencanaya selepas kuliah S1 atau S2 disini? Pasti rata-rata jawabnya, "keknya sih mo nyari-nyari kerjaan disini ajah, malas balik ke Indonesia, Madesu. Masa depan suram!"
Jujur saya pribadi sangat gak suka dan akan dengan tegas menentang ide orangtua yang menganggap "Membesarkan anak diluar negeri jauh lebih baik dan kondusif ketimbang membesarkan anak diIndonesia". Jika saatnya tiba dan saya diberi kepercayaan mendidik anak-anak saya sendiri, saya lebih memilih lingkungan dan kultur Indonesia yang penuh tata krama untuk mendidik anak ketimbang melihat anak-anak Indonesia yang dibesarkan diluar negeri yang menurut saya sudah jauh dari nilai kesopanan dan budaya Timur orang Indonesia.
No respect to olders dan terlalu demanding! "Patotoai" kalo kata orang bugis Makassarnya.
Masalah kecil saja dipersoalkan lewat komunikasi yang panjang dan berbelit-belit dan anak bahkan berani membantah dan menghardik orangtuanya. Lalu setiap kali disiplin dan hukuman ditegakkan ke anak, eh.....orangtua dianggap melanggar HAM, padahal anak sendiri gitu lho!!!