Pada tanggal 25 September 2014 jam 12:10, akhirnya RUU Keperawatan disahkan menjadi UU tentang Keperawatan pada sidang paripurna DPR RI.Hari yang bersejarah setelah perjuangan panjang sejak tahun 1989, ketikaProgram Studi Ilmu Keperawatan di Universitas Indonesia (PSIK-FKUI) meluluskanPerawat dengan pendidikan sarjanamelalui sistem pendidikan tinggi yang diakui secara nasional.Keberadaan PSIK FKUI sebagai Pendidikan Tinggi Keperawatan di Indonesia yang ditubuhkan di Universitas Indonesia tahun 1985, merupakan perwujudan dari kesepakatan Lokakarya Nasional, Januari 1983.Pada waktu itu Pelopor pembangunan sistem pendidikan tinggi keperawatan di Indonesia antara lain: Prof. Ma'rifin Husin (Ketua/Sekretaris CHS), Prof. A.A. Loedin (almarhum, Deputi Menristek RI), Dr. Farinaz Parsay (Konsultan WHO), Dr. M. Isa (almarhum, Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI), Kelompok Kerja Keperawatan CHS (Consortium of Health Sciences), Pengurus Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan banyak lagi orang orang penting di belakang layar yang mendorong pengembangan profesi keperawatan melalui penataan sistem pendidikan tinggi keperawatan.Lokakarya Nasional menyepakati bahwa keperawatan adalah suatu profesi dan pendidikan keperawatan sebagai pendidikan profesi berada dalam sistem pendidikan tinggi nasional.Ditetapkanlah struktur, jenjang dan jenis pendidikan keperawatan dengan proyeksi jenjang pendidikan sampai Spesialis 2 dan S3/Doktor dengan berbagai jenis spesialisasi bidang keperawatan.
Pada tahun 1989 inilah sebenarnya embrio RUU keperawatan berawal.Beranjak dari pemikiran tentang pentingnya landasan hukum untuk mengatur profesi keperawatan secara utuh yang mencakup pendidikan, praktik/pelayanan dan penelitian keperawatan serta kehidupan keprofesian, PSIK didukung oleh CHS, Depkes dan WHO menugaskan kepada Prof. A.A. Loedin dan Prof. Herkutanto (pada waktu itu belum Professor) sebagai konsultan untuk melakukan kajian tentang landasan hukum untuk keperawatan.Ternyata dari hasil temuan tersebut,tidak ada regulasi yang cukup kuat untuk mengatur keperawatan secara utuh sebagai suatu profesi.Oleh karena itu, salah satu rekomendasinya adalah penting adanya Undang Undang Keperawatan yang mengatur sistem keperawatan sebagai profesi dan perlindungan kepada masyarakat secara komprehensif dan mendasar.Pada tahun 1992 Undang Undang No. 23 tentang Kesehatan disahkan dan di dalam UU tsb dituliskan tentang pengakuan bahwa keperawatan adalah profesi dengan keahlian yang dipersyaratkan untuk memperoleh kewenangan praktik sesuai dengan ilmu keperawatan.Selanjutnya pada tahun 1998, Dr. Farinaz Parsay sebagai konsultan WHO didampingi oleh Konsultan Nasional yaitu Achir Yanimewakili profesi keperawatan dan seorang wakilIkatan Bidan mewakili kebidanan. Sepuluh key result areas (bidang hasil pokok) atau biasa disebut sasaran, dihasilkan.Salah satu sasaran tersebut adalah "Adanya sistem regulasi untuk pendidikan dan praktik keperawatan dan kebidanan untuk melindungi masyarakat" (WHO, 1998).
Pada tahun 2000, dengan berbagai upaya meyakinkan berbagai pihak dan dukungan dari dalam Departemen Kesehatan yaitu Prof. Azrul Azwar (almarhum), Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan Keteknisian Medis dibentuk dan masuk dalam struktur organisasi Departemen Kesehatan.Walaupun baru pada tahun 2003 Direktorat baru dipimpin oleh Perawat, yaitu Ibu Dra. Herawani Azis, M.Kes, M.Kep.Sejak tahun 2000, bersama Biro Hukum dan Organisasi dan Unit Depkes terkait, Direktorat Keperawatan didukung oleh WHO menyusun Rancangan awal UU Keperawatan dengan konsultan WHO, Dr. Tassana Bontoong, yang saat itu sebagai President of Thailand Nursing Council.Ketika itu, IBI memutuskan untuk memiliki UU terpisah dari UU Keperawatan.
Departemen Kesehatan memfasilitasi kelanjutan penyusunan RUU untuk kedokteran (kedokteran dan kedokteran gigi), keperawatan, dan kebidanan.Seingat saya Bapak Faiq Bahfein sebagai fasilitator utama dan tentunya beberapa pejabat Depkes dan perwakilan organisasi profesi dan nara sumber ikut terlibat dalam penyusunan RUU bagi beberapa profesi kesehatan tersebut.Pada tahun 2004, UU Praktik Kedokteran disahkan, sementara pada tahun 2005, RUU Praktik Keperawatan dan RUU Praktik Kebidanan dengan inisiatif Pemerintah masuk dalam Program Legislasi Nasional dengan urutan 160 dan 161 untuk diselesaikan oleh DPR RI periode 2004-2009.
Ironis sekali, ketika MRA (Mutual Recognition Arrangement) untuk 10 Negara ASEAN ditandatangani 8 Desember 2006 di Cebu, Philippines,hanya Indonesia, Laos dan Vietnam yang belum memiliki UU Keperawatan.Konsekuensi dari MRA tersebut, apabila hingga 2010, belum ada "credentialing system", maka Perawat Indonesia tidak diakui untuk bisa bekerja di negara lain, sedangkan perawat asing akan bisa masuk bebas ke Indonesia tanpa melalui sistem uji kompetensi yang ditentukan oleh Indonesia. Namun walaupun kondisi yang cukup genting tersebut, hingga tahun 2008, di saat sudah akan dilakukan pemilihan legislatif dan presiden, RUU Keperawatan tetap saja tidak disentuh apalagi dibahas.Dorongan dari Pemerintah juga tidak tampak nyata.RUU Praktik Keperawatan yang kemudian diganti menjadi RUU Keperawatan, yang tidak saja diharapkan untuk mengatur praktik, namun juga mengatur pendidikan dan pelatihan bagi perawat, dan hubungan antara Konsil Keperawatan dengan berbagai focal points keperawatan, sebagaimana hasil kajian terhadap sejumlah Nursing Act dari berbagai negara. Oleh karena itu, pada Rapat Pimpinan Nasional PPNI di Semarang 2008, disepakati untuk melakukan aksi nasional untuk mendesak agar RUU Praktik Keperawatan segera dibahas melalui inisiatif DPR RI, bukan Pemerintah.Pro dan kontra di antara kalangan komunitas keperawatan dan pemerhati keperawatan terjadi.Ada yang mendukung gerakan aksi simpatik, namun ada yang menolak dengan berbagai alasan.Serangkaian lobby dan aksi simpatik baik di DPR RI maupun di Kementrian Kesehatan dilakukan dengan satu tekat bahwa RUU Keperawatan harus disahkan.RUU Keperawatan masuk dalam agenda DPR RI untuk diproses oleh DPR RI Periode 2009-2014.
Masukan dari beberapa anggota DPR RI yang konsisten mendukung terus menjadi acuan utama untuk bergerak mendorong pengesahan RUU Keperawatan.Berbagai nama Fraksi dan Legislatorpendukung proses, akan selalu saya kenang dengan rasa penghargaan yang tinggi.Mereka selalu ada, ketika tantangan menghadang terutama ketika proses harmonisasi substansi RUU denganPemerintah, tidak selalu berjalan lancar kendatipun tetap dinamis.Proses politik terus berlangsung dengan resistensi dari berbagai pihak.Namun rasa kesatuan dan persatuan sesama perawat dan antara perawat dengan masyarakat yang berhak untuk mendapatkan perlindungan dan akses terhadap pelayanan keperawatan dan kesehatan, akhirnya mengantarkan RUU Keperawatan disahkan pada tanggal 25 September 2014.
Tiada keberhasilan tanpa perjuangan, dan tidak ada keberhasilan dari suatu perjuangan kecuali dengan kebersamaan.Begitu banyak nama yang terlibat dalam perjuangan panjangini, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Beberapa periode kepemimpinan PPNI sudah turut berjuang, dan akhirnya... di bawah kordinasi Kordinator Satgas RUU Keperawatan yaitu Bapak Harif Fadillah, SKP, SH, dengan Kordinator Lapangan Iwan Effendi, dan tentunya Ketua Umum PP PPNI periode 2010-2015, Ibu Dewi Irawaty, MA, Ph.D.Kerjasama yang erat dengan Direktorat Keperawatan Kemkes dan beberapa stakeholders, Pengurus PPNI di Pusat dan Daerah yang telah berjuang bersama dengan penuh kesabaran, kesungguhan dan kebulatan tekat, akhirnya telah dijawab oleh Allah SWT dengan disahkannya RUU Keperawatan menjadi UU Keperawatan.Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk terus menata implementasi UU Keperawatan ke depan agar sesuai dengan tujuan utama keberadaannya adalah untuk melindungi masyarakat dan perawat, memberikan apa yang menjadi hak masyarakat sebagai bagian dari hak azasi manusia yang tidak bisa dan tidak boleh dihapuskan.
Kalimat akhir yang disampaikan oleh Ketua Komisi 9 dan Ketua Panitia Kerja RUU Keperawatan, dr. Ribka Ciptaning,pada tanggal 25 September yang bersejarah tersebut, terus tersimpan dalam hati saya dan tidak akan pernah saya lupakan: "Perawat adalah sahabat rakyat, ketika rakyat sulit ketemu dokter karena persoalan uang dan geografi, maka hanya perawatlah sahabat rakyat"
(Penulis adalah Prof. Achir Yani Syuhaimie Hamid, MN, DNSc,Guru Besar Ilmu Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, dan Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PP PPNI).Mantan Ketua Umum PP PPNI dua periode (2000-2005 dan 2005-2010), dan Ketua PSIK FKUI (1985-1996))
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H