Mohon tunggu...
Aenun Najib
Aenun Najib Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudik; Antara Kita, Ikan Salmon dan Pulang Ke Haribaan Asal-Usul

8 April 2024   08:52 Diperbarui: 8 April 2024   12:51 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mudik, sebuah kata yang paling sering didengar dan bersemi rindang terutama menjelang akhir Bulan Ramadhan. Namun sadarkah kita ternyata terdapat kesamaan antara tradisi mudik dengan perjalanan pulang ikan-ikan salmon.

Ikan salmon dewasa selalu mencari jalan pulang untuk kembali ke sungai di pedalaman tempat mereka ditetaskan. Mereka terkadang menempuh perjalanan yang sangat panjang. Dari laut yang asin, mereka berarak menuju sungai yang dahulu pernah dilewati. Mereka harus melawan arus sungai, melewati bebatuan, melompati riam terjal hingga menghindari sergapan para predator.

Tidakkah ciri-ciri ini untuk sebagian mirip dengan tradisi mudik?

Sebagaimana ikan salmon, para pemudik juga banyak yang menempuh perjalanan yang sulit dengan cara yang militan. Tak hanya mesti melewati macet yang seringkali mengerikan, panas dan hujan, berdesak-desakan juga intaian serta ancaman kecelakaan sepanjang perjalanan.

Bagi mereka yang menjalankan, mudik bisa jadi bukan hanya ritual tahunan. Namun sudah jadi "gerakan moral" yang melebihi fanatisme seseorang terhadap apapun. Mudik bukan soal orang kampung atau orang kota, tapi sebuah sikap tentang cara menghargai kampung halaman, tanah kelahiran dan bumi pijakan para leluhur.

Lalu kenapa mudik; mobilisasi jutaan manusia menjelang lebaran yang dipenuhi berbagai resiko itu selalu berulang?

Ada panggilan tak tertahankan, seruan yang sulit ditampik untuk berhari raya di tanah kelahiran. Tayangan TV atau berita di sosial media yang memberitakan arus mudik bisa memicu kerinduan yang tak masuk akal. Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada, dan seperti terdengar bisikan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya kenangan masa lampau serta handai taulan yang sedang menunggu.

Bagi mereka, mudik adalah panggilan psikologis untuk pulang, sebuah panggilan batin, untuk mengingatkan manusia. Tentang "dari mana ia berasal dan mau ke mana ia menuju".

Hikmat kebijaksanaan para pemudik adalah pulang ke tanah kelahiran, menyusuri kembali kenangan masa kecil yang tak ternilai harganya juga bersilaturahmi kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan, di rumah masa kecil atau walau hanya "berkunjung" di atas pusaranya saja.

Mudik adalah peristiwa yang istimewa untuk merayakan momen istimewa yang tidak akan hadir di momen-momen lain. Mudik adalah kejadian rutin tahunan, namun tak pernah basi untuk diberitakan. Karena mudik adalah penanda zaman, mudik adalah kerinduan primordial untuk pulang ke haribaan asal-usul.

Akhirnya, selamat mudik bagi yang menjalankan, hati-hati di perjalanan, semoga lancar hingga selamat sampai tujuan. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun