Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Republik Kata-Kata

23 November 2024   16:01 Diperbarui: 23 November 2024   18:50 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan sabit menggantung di langit. Cahaya jatuh begitu murung. Dan puisi tak jadi kadung. Seorang anak muda lucu memaksakan diri memasang fotonya di samping seorang, yang di pundaknya banyak lambang-lambang. Kita terpaksa melihatnya di dinding sekolah, kantor-kantor. Ngakak kita telah habis

Ia sibuk dengan tampilan diri, memakai bermacam kosmetik agar selalu terlihat menarik. Blusukan di pasar becek, bertanya dengan pertanyaan yang tak perlu. Agar kosmetik tak cepat luntur, lalu ia membuka lowongan pekerjaan agar rakyat dapat mengadu. Maka rakyat pun menulis: Mas Pejabat, sosok siapa yang membuat kata-kata telah menjadi racun. Pertanyaan itu hanya menjadi gelembung sabun. Pecah, warna-warni, ditiup pecah. Anak muda ini memang ingin menjadi seperti aktor, seperti bapaknya yang pandai berakting, agar langkahnya selalu disorot kamera

Negeri ini adalah negeri matahari. Mudah terbakar. Makanya banyak yang suka es krim. Lidah mudah sekali panjang karena sering menjilat. Jalanan terbakar. Oleh perantau bertahun-tahun tak memberi kabar. Kampung halaman disimpan dalam pesan WA. Sedang kota diterkam macet dan polusi. Tiap hari menegakkan punggung hanya dengan semangkuk mie.

Kita tak ingat lagi pada gambar-gambar saat Pemilu. Siapa mereka tak penting. Lambung adalah ingatan yang selalu mengejar. Anak-anak merengek. Sekolah katanya ada peraturan baru. Jangan dibaca! Lihat, kegelisahan sedang antre. Nelayan-nelayan yang miskin. Katanya anak-anaknya akan diberi ikan dalam kaleng, yang ikannya tidak dibeli dari mereka. Musim-musim begitu lelah. Jatuh cinta begitu cepat, benci sekelebat kilat.

(Seseorang melukis sangat indah dengan air matanya)

Ada video di YouTube. Cara membenci, cara cepat kaya, cara menipu, cara tertipu, cara membuat cara-cara.

Namun, negeri harus terus berjalan. Juga kata-kata. Juga puisi. Selalu ditulis meskipun sepi pembaca.

***

Lebakwana, November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun