Rumah di kampung kembali terang, karena ada kiriman cahaya tiap bulan. Doa ibu masih mengalir, dilengkapi curiga bapak yang tak terucapkan.
Kini kota telah menyatu pada tubuh perempuan itu. Bimbang tak perlu lagi ditimbang. Untuk apa lagi sesal. Jalan ini dilalui saja dulu. Jangan dipikirkan ke mana akan berujung.
Berbilang bulan. Beberapa kalender telah berganti dari dinding tempat tinggalnya. Perempuan itu kini merasa kulit tubuhnya tak sekencang dulu. Ingin ia berganti jalan. Namun cuaca sering berkhianat pada dirinya.
Perempuan itu tentu punya nama, ada tercatat pada Dinas Kependudukan. Tapi apa pentingnya? Â Perempuan itu tahu ia hanya bagian catatan statistik. Atau menjadi objek janji dari partai politik menjelang pemilu. Atau menjadi narasumber sebagai penelitian mahasiswa, yang juga nantinya tak berguna. Karena mahasiswa itu nanti hanya mengutip sana-sini dari internet.
Demikianlah perempuan itu, masih gemetar di bawah lampu. Di sebuah kota, sebut saja begitu. Ia merasa jalan yang dilaluinya selalu malam. Ada suatu masa ingin ia bercerita tentang rindu, juga cinta yang menjadi sembilu pada tubuhnya. Hingga suatu ketika seseorang penyair tua mengabadikannya dalam puisi.
Seorang perempuan
Menjelma kupu-kupu
Ditemukan mati hari ini
Tersebab rindu yang sepi
***
Lebakwana, Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H