Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Sastra Sekelebat Jalan

20 Juni 2024   07:29 Diperbarui: 22 Juni 2024   21:03 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sastra Sekelebat Jalan. Foto oleh Averyanovphoto/Pixabay.com

Kehadiran internet membuat kehidupan sosial cepat sekali berubah. Kita pun menafsir ulang cara-cara berinteraksi dengan orang lain. Terpaksa dan dipaksa berdamai dengan kehadirannya. Mau tak mau.

Lalu media sosial. Tempat ruang tumpah tanpa batas. Dengan terang-terangan atau indentitas yang disembunyikan. Ikut berperan cinta dan benci yang sangat telanjang. Banyak yang menikmati, tak sedikit pula mengalami gegar sosial. Dunia apa ini?

Pun cara menikmati dunia baca. Kita kehilangan romantisme suara gemerisik kertas, saat buku atau koran, atau majalah, dibuka. Satu dua hirupan kopi, sepiring kecil gorengan. Juga suasana, "Jangan ganggu dulu! Ini ada berita hangat."

Baca juga: Puisi | Jalan

Semuanya itu kini redup, menghilang (walaupun sebagian masih ada), berpindah hanya dalam satu genggaman. Sebuah benda kecil bernama hape. Dan kita menciptakan dunia sendiri.

Like, comment, share, subscribe, menjadi hantuhantuhan baru. Dan scroll, berpindah dengan cepat kepada "tuhan" yang lebih menggoda .Yang asing, aneh, atau yang gila. Oh, ya, kuota internet Anda tinggal beberapa Mb!

Sastra akhirnya menjadi ikutan. Lupakan cerpen berhalaman-halaman ala Majalah Horison. Atau cerpen koran. Ilustrasi pletat-pletot agar dibilang nyastra.

Kini sastra sekelebat jalan. Dibaca (mungkin)  "sambil lalu". Dibaca saat bergelantungan di dalam kereta, di angkot, diselingi membalas wa dari kerabat, istri, anak. Tak ketinggalan membubuhkan emoticon "love" kepada selingkuhan. Mungkin!

Sori, tak dibutuhkan cerita yang berpanjang-panjang. Karena tak ada tempat untuk "khusyuk". Godaan goyang TikTok, gambar-gambar yang cepat berganti, lebih menghisap perhatian. Cerita pendek (cerpen), yang memang pendek semakin pendek. Lahirlah kemudian apa yang disebut flash fiction, pentigraf (cerpen tiga paragraf). Semua bisa menulis, semua bisa ditulis. Lewat blog pribadi atau blog keroyokan. 

Tak terkecuali puisi. Dulu mungkin hanya dilakukan lewat gumam, atau hanya sebaris dituliskan. Di buku harian, pada lipatan buku, atau di mana saja yang bisa dituliskan. Karena untuk dimuat di media arus utama harus melompati pagar-pagar kurasi. Itu pun belum tentu dimuat.

Sekarang segalanya mudah. Klik! Langsung tayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun