Hidup kadang terlalu singkat, hanya sejarak kenangan. Sesekali singgah, merupa hujan pada bola mata. Atau menarik bibir untuk tersenyum. Atau gelak tawa
Dan tanah kelahiran. Menyusuri jalan-jalan ingatan. Ayah, Emak, mengajari soal cinta. Juga bersiasat bagaimana menghadapi luka
Ayah yang terlalu cepat pergi. Emak yang mengambil kayuh kemudi. Aku, kami, waktu itu belum mengerti. Emak mengganti cara menafsirkan cinta: sembunyikan bunyi lambung, dan rahasiakan di mana air mata ditampung
Kenangan sekelebat luka
Lalu Emak membawa kami
Mencoba menaklukkan Jakarta
Tapi kota ini terlalu panas
Dalam semalam mimpi Emak terbakar
Untunglah kami sudah terlatih
Bagaimana cara mentertawakan air mata
Emak pulang, aku bertahan
Aku menjadi anak nasib
Di tanah rantau aku belajar
Bagaimana menghadapi gelombang
Juga menghindari batu karang
Namun
Kapalku acap kali tenggelam
Ketakmengertian
Tak apa juga bila disebut kebodohan
Pernah juga ikut tes Fakultas Kedokteran
Mengangkat harga diri keluarga
juga cara cepat menjadi kaya
Tubuh terlalu lelah
Selalu dipandang sebelah mata
Tapi itu menjadi jenaka
Karena aku tak punya biaya apa-apa
Cinta lagi. Jatuh lagi
Luka
Sepi
Dan perjalanan tak boleh berhenti
Jakarta sebuah metropolitan yang
terletak di perempatan jalan
dengan tanda-tanda: hijau, kuning, dan
merah
selanjutnya belajarlah untuk
tak peduli
sedang air liurku terletak pada roti
berisi mocca
sisa tikus semalam pesta