Kemarin di grup WA KPB ada sedikit kegaduhan. Pemantiknya Kompasianer Acek Rudy. Ia membagi beberapa puisi di grup. "Ada komentar? tanya Acek Rudy.
Puisinya terdiri beberapa bait. Sengaja saya kutip hanya dua bait per puisi.
Ini dia.
1.
Hujan, hujan, di sini hujan
Terlihat jelas di langit biru
Kita bisa merasakan hujan ini
Indahnya alam ini, menyentuh hati
Rahasia alam, hujan mengalir
Mengalir lembut dari langit biru
Merangsang emosi, mendorong angan-angan
Menggetarkan jiwa, mengubah dunia
2.
Hujan yang turun tak pernah berhenti
Kita pun menari bersama bintang
Mendengar suara angin yang bergema
Kita pun bersuka dan berjoget
Mata kita tertuju pada awan
Hujan pun turun membasahi bumi
Kita pun berlari menyambutnya
Menyanyikan lagu yang indah
Beragam tanggapan dari kawan-kawan di grup. Ada yang bilang bagus, biasa saja, ada juga yang tak berkomentar.
Saya sendiri melihatnya seperti ditulis orang yang baru belajar menulis (saya sendiri juga sebenarnya masih belajar). Hanya deretan kalimat berita biasa saja. Walaupun susunan kata-katanya terlihat rapi.
Takada yang aneh. Jadi, apa masalahnya.
Tapi kemudian telinga saya menjadi tegak oleh penjelasan Acek Rudy. Puisi itu bukan dibuat oleh manusia.
Hantu? Tidak.
Puisi itu dibuat "robot cerdas" bernama ChatGPT. GPT sendiri singkatan dari Generative Pre-Trained Transformer.
Mengutip Tribunnews, ChatGPT adalah sebuah perangkat lunak yang dikembangkan OpenAI. Sebuah platform kecerdasan buatan yang didirikan oleh Sam Altman dan Elon Musk.
Soal robot, teknologi canggih, dan kawan-kawannya saya nggak ngerti.
Cuma yang membuat saya berdebar, kenapa robot itu seperti bernyawa, punya "perasaan". Dan puisi adalah cara mengolah rasa yang dituangkan dalam bentuk permainan kata.
Acek Rudy menuliskan kata kunci, sebuah puisi tentang hujan yang berkepanjangan. Hasilnya adalah puisi yang pertama. Lalu dimasukkan lagi kata kunci itu. Terciptalah puisi kedua.
Mari kita lihat lagi.
Pada puisi pertama ada frasa: menyentuh hati, mengalir lembut, menggetarkan jiwa.Â
Dan pada puisi kedua, kita pun menari bersama bintang. Angin yang bergema, berlari menyambutnya. Menyanyikan lagu indah.
Ah, mesin pun bisa berasosiatif dan bermetafora.Â
Dan yang lebih membuat kita goyang (tambahan dari Acek Rudy di kolom komentar artikel ini), ternyata setelah dicek lewat aplikasi turnitin Pro, tingkat plagiarismenya pada kisaran 0-9 %. Ini bisa lolos bila ditayangkan di media yang kurasinya cukup ketat. Kompasiana sendiri membolehkan kutipan hingga 25%.
Keren, bukan? Atau mengerikan?
Itu tidak selesai sampai di situ. Robot cerdas ternyata bisa juga religius. Saat dimasukkan kata kunci, "Sebuah puisi tentang keindahan Dhamma (ajaran Buddha)". Hasil seperti tangkapan layar di bawah ini.
Bayangkan, ChatGPT ini bisa membuat sajak repetitif. Ia seperti mengambil peran seorang biksu yang menasihati jemaatnya. Dan dituturkan dalam bentuk puisi.
Apakah ini akan menamatkan kiprah para penyair?
Saya pikir tak akan seekstrem begitu. Memang ada tercipta puisi. Namun, puisi yang dihasilkan seperti tak mempunyai ruh. Tak bertenaga. Walaupun, saya akui, puisi itu terlihat menarik (saya tak ingin bilang, bagus). Setidaknya bila dibandingkan dengan (ada) beberapa puisi yang berseliweran di Kompasiana. Eh!
Puisi-puisi di atas nyaris "sempurna". Walaupun takada permainan rima pada beberapa suku kata, harus diakui jalinan katanya cukup menarik. Tapi puisi itu seperti ditulis berdasarkan urutan-urutan menjawab soal bahasa.
Puisi bukan hanya kepiawaian menyusun diksi, yang diiringi permainan bunyi. Entah itu berupa rima atau frasa yang mempunyai makna baru. Meskipun itu dari kata-kata sehari-hari.
Selain itu, pada beberapa puisi, ada keacakan kata. Mungkin terkesan nyeleneh, Â "gila", atau apa pun namanya. Keacakan itu, bagi penyair tertentu, bisa terbaca indah.
Saya juga tak terlalu yakin apakah robot cerdas itu bisa menulis puisi dengan permainan bunyi ala Joko Pinurbo.
...
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tak mudah marah
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
...
(Kamus Kecil; Joko Pinurbo).
Sebagai media pembelajaran, untuk pembanding, sebenarnya tak apa. Ia menjadi masalah kalau penyair (juga penulis lain) sangat bergantung kepada robot cerdas itu. Dan ini membuat tumpulnya kreativitas. Melahirkan generasi pemalas.
Generasi bodo amat.
Ujungnya, penulis tak merasa bersalah melakukan tindakan "cerdas" (baca: curang), membohongi orang lain. Terlebih lagi, membohongi diri sendiri.
***
Lebakwana, Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H