Dan yang lebih membuat kita goyang (tambahan dari Acek Rudy di kolom komentar artikel ini), ternyata setelah dicek lewat aplikasi turnitin Pro, tingkat plagiarismenya pada kisaran 0-9 %. Ini bisa lolos bila ditayangkan di media yang kurasinya cukup ketat. Kompasiana sendiri membolehkan kutipan hingga 25%.
Keren, bukan? Atau mengerikan?
Itu tidak selesai sampai di situ. Robot cerdas ternyata bisa juga religius. Saat dimasukkan kata kunci, "Sebuah puisi tentang keindahan Dhamma (ajaran Buddha)". Hasil seperti tangkapan layar di bawah ini.
Bayangkan, ChatGPT ini bisa membuat sajak repetitif. Ia seperti mengambil peran seorang biksu yang menasihati jemaatnya. Dan dituturkan dalam bentuk puisi.
Apakah ini akan menamatkan kiprah para penyair?
Saya pikir tak akan seekstrem begitu. Memang ada tercipta puisi. Namun, puisi yang dihasilkan seperti tak mempunyai ruh. Tak bertenaga. Walaupun, saya akui, puisi itu terlihat menarik (saya tak ingin bilang, bagus). Setidaknya bila dibandingkan dengan (ada) beberapa puisi yang berseliweran di Kompasiana. Eh!
Puisi-puisi di atas nyaris "sempurna". Walaupun takada permainan rima pada beberapa suku kata, harus diakui jalinan katanya cukup menarik. Tapi puisi itu seperti ditulis berdasarkan urutan-urutan menjawab soal bahasa.
Puisi bukan hanya kepiawaian menyusun diksi, yang diiringi permainan bunyi. Entah itu berupa rima atau frasa yang mempunyai makna baru. Meskipun itu dari kata-kata sehari-hari.
Selain itu, pada beberapa puisi, ada keacakan kata. Mungkin terkesan nyeleneh, Â "gila", atau apa pun namanya. Keacakan itu, bagi penyair tertentu, bisa terbaca indah.
Saya juga tak terlalu yakin apakah robot cerdas itu bisa menulis puisi dengan permainan bunyi ala Joko Pinurbo.