Engkong ngakak, kenapa kabel punya punggung. Sejak kapan kabel punya punggung? Engkong membawa-bawa pelajaran biologi. Segala moluska, avertebrata. Aduh!
Ini puisi, Kong.
Puisi itu menggunakan metafora, perumpamaan, dan segala majas lainnya, agar terbaca indah. Puisi yang ditulis Ayu menggunakan majas personifikasi -- "menghidupkan" benda-benda seolah-olah manusia.
Contoh lagi: angin berbisik, nyiur melambai, tiang listrik berbaris, makanan itu membakar lidah.
Sejak kapan angin punya mulut, nyiur punya tangan, tiang listrik jadi satpam, atau makanan bisa membakar? Kalau ini dipersoalkan, waduh!
Dan "lubang sumur" pada puisi Lilik.
Engkong menulis, bahwa sumur itu sendiri sudah berarti lubang, lubang pada tanah secara vertikal. Jadi ada lubang pada lubang? Engkong mempertanyakan.
Sekali lagi, ini puisi, Kong.
Lilik Fatimah Azzahra menggunakan majas pleonasme. Sudah jelas diperjelas lagi. Seperti halnya frasa-frasa: maju ke muka, mundur ke belakang, masuk ke dalam.
Itu sah-sah saja dalam puisi.
Menulis puisi dengan diksi apa adanya, ia akan terbaca garing, membosankan. Penyair punya "hak kengesokan", apa yang disebut licentia poetica. Dapat bermetafora apa saja. Nah, Engkong mengakui juga soal licentia poetica ini.