Saya terkaget-kaget mendadak Engkong Felix membahas puisi. Ngerti apa Engkong soal puisi? Pernah, sih, dia menulis puisi. Itu pun membawa-bawa nama Jokowi.
Halah, nggak pede banget. Inilah akibat kecanduan media sosial. Tahu sendiri, penggiat medsos hidupnya cuma dua: Kalau nggak cinta buta kepada Jokowi, ya, benci yang membabi buta. Menulis puisi pun di balik punggung Jokowi.
Dan yang membuat saya naik darah, puisi soal Jokowi ini menangguk pembaca sampai lima ribuan. Ini sama saja mengejek para penulis puisi di Kompasiana. Puisi di Kompasiana dapat pembaca seratusan sudah sangat bagus. Perlu 50 puisi agar terbaca sampai 5000.
Ini ngece. Saya tidak terima. Dan yang membuat saya semakin jengkel, berani-beraninya Engkong Felix merisak puisi yang ditulis dua kompasianer cewek, Lilik Fatimah Azzahra dan Ayu Diahastuti. 2 kompasianer yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi saya. Eaaa! (Ralat: maksud e, maksud e ... 2 kompasianer idola saya).
Saya membayangkan Lilik dan Ayu tersedu-sedu bersandar di bahu saya (halah, halu), Â mengadukan kelakuan Engkong Felix. Saya mengutip Chairil Anwar: "Tak perlu sedu-sedan itu ... aku akan menerjang terjang ...."
Mari kita lihat puisi yang dipermasalahkan Engkong Felix.
Pertama, puisi yang ditulis Ayu Diahastuti, "Puisi Kita Sore Lalu". Kedua, puisi "Lelaki yang Berbahaya", karya Lilik Fatimah Azzahra. Dan yang bikin saya ngakak terguling-guling, adalah Engkong mempersoalkan diksi "punggung" dan "lubang".
Lihat kutipan puisi di bawah ini.
"Kepada burung-burung gereja yang bertengger di punggung kabel listrik." (Puisi Kita Sore Lalu; Ayu Diahastuti).
"Kucari ia di setiap sudut rumah. Di dapur, di lubang sumur, di kolong tempat tidur."Â (Lelaki yang Berbahaya;Â Lilik Fatimah Azzahra).