Suatu saat kita akan mengerti, panjang garis yang kita lalui adalah kumpulan titik yang kita tidak tahu di mana kita akan berhenti.
Dan sering mulai dari awal. Belajar menghadapi jalan yang terjal, juga tak jarang terbentur dengan harapan-harapan yang majal.
Ada pada suatu titik kita berharap pada cahaya dalam ruang keluarga, di sebuah rumah pada suatu masa.
Belajar lagi bagaimana mengajarkan cinta kepada anak-anak kita. Mungkin menulis angka, Â mengeja kata, atau menumbuhkan harap saat mereka belajar naik sepeda.
Memakaikan sepatu agar mereka melangkah tak ragu. Memakai seragam, menyandang tas sekolah, Â dan di ujung sana mimpi tak selalu digapai mudah.
Saat anak-anak remaja, cinta bukan bercerita soal kawan, tapi bisa berubah menjadi lawan. Anak-anak tiba-tiba menjadi pemberontak, kita harus sering melapangkan dada menampung kata, "tak".
Tentu, mereka merasakan cinta yang lain. Cinta yang berapi. Jikalau tidak pandai menyikapi diri ia dapat membakar, melukai hati.
Beranjak dewasa, mereka menemukan titik baru, menciptakan garis yang lain. Jauh berbeda dengan jalan yang pernah kita lalui.
Mereka, tentu, ingin pula mempunyai cerita sendiri.
Anak perempuan, akan membawa kisah bersama suami dan anak-anak mereka. Yang lelaki, akan merasakan menjadi pemimpin di tanah rantau orang lain.
Kita? Kita pulang pokok, kembali berdua.