Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi: Dari Jendela Rumah Tua

19 Maret 2021   05:34 Diperbarui: 22 Maret 2021   20:23 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah sudah berapa lama debu ini melekat di kaca, gorden yang lusuh, menyimpan banyak guratan peristiwa 

Pernah dalam suatu masa, rumah ini penuh gelak tawa, ruang keluarga penuh dengan cerita, mimpi-mimpi berharap akan sampai pada alamat. Tentu, air mata juga ada 

Kini rumah begitu sunyi, anak-anak tumbuh dewasa menyusuri jalan nasib masing-masing, tak ingat lagi rumah di mana dulu belajar menapakkan kaki, jatuh, menangis, sapaan yang lembut, dan doa-doa yang bisa menembus kabut 

Rumah tua itu masih berdiri, ditopang doa-doa yang bergetar, siapa tahu ada langkah-langkah kaki anak-anaknya, memeluk, bertanya kabar 

Entah sudah berapa lama debu ini melekat pada kaca, tangan perempuan yang keriput terlalu gemetar untuk membersihkannya 

Dari kaca buram, masih bisa juga memandang keluar, sesekali gorden tersingkap, menunggu suara-suara 

Adakah itu suara tapak kaki anaknya? 

***

Lebakwana, Maret 2021. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun