Membaca Pak Tjip -- demikian saya menyapa kompasianer Tjiptadinata Effendi  -- seperti membaca buku yang terbuka. Tanpa penghalang, apa adanya. Buka kulit tampak isi.Â
Itu yang tercermin dari tulisan-tulisan Pak Tjip di Kompasiana. Pak Tjip menuliskan pengalaman hidupnya, dari yang pahit hingga ia seperti sekarang ini. Tak bermaksud berbagi kesedihan, ataupun berbangga dengan keberhasilan. Tapi Pak Tjip seperti ingin mengirimkan pesan, kesusahan hidup takperlu diratapi berlama-lama. Pun kesuksesan, itu harus melewati jalan yang panjang, penuh aral melintang dan segala macam cobaan.Â
Tulisannya begitu jujur. Menulis dengan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti, tanpa bunga-bunga kata. Dalam ungkapan Minang, Pak Tjip digambarkan sebagai sosok yang lurus tabung -- apa adanya, takada yang disembunyikan.Â
Dalam menulis pun Pak Tjip takperlu mengutip dari banyak daftar pustaka, karena tubuhnya adalah bahan bacaan itu sendiri. Boleh dikatakan, lebih dari 5000 artikel yang ditulisnya di Kompasiana adalah pengalaman hidupnya. Kita terbawa hanyut dengan cara Pak Tjip bertutur.Â
Kita merasakan ketegangan, saat Pak Tjip tenggelam di laut, kakinya sobek tertancap pagar bambu. Pun, ikut merasakan haru, saat Pak Tjip takbisa  membelikan mobil-mobilan untuk anak lelakinya yang sedang berulang tahun.
Juga, ketika menceritakan kehidupannya sekarang. Takada berpretensi untuk pamer diri. Karena untuk mencapai puncak itu, Pak Tjip telah mendaki banyak anak tangga. Terkadang perjalanan terhenti: tangga yang rusak, modal habis, atau ditipu rekan seperjalanan. Dan akhirnya ia dapat melalui semua itu.Â
Di balik semua itu tentu ada Bu Lina ( Roselina Effendi ), istrinya yang setia. Selalu mendampingi di saat suka maupun duka.Â
Di Kompasiana Pak Tjip selalu menyapa hangat kepada siapa saja, tak melihat kompasiner pemula atau yang sudah senior. Memberi vote, tak ketinggalan sedikit komentar.Â
Walau ia telah lama tinggal di Australia, lidahnya tak tertukar. Seperti yang ditulis kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang, Pak Tjip masih fasih berbahasa Minang. Ini membuat saya malu, karena bahasa Minang saya, sakarek baluk sakarek ula -- separuh belut separuh ular, campur aduk.Â
Ketika Pak Tjip dan Bu Lina bergabung di grup KPB, semua anggota KPB senang menyambutnya. Memberi ucapan selamat datang. Bu Lina merespon tulisan saya, "O, jadi nama Ayah Tuah itu Firdaus? Ini sama dengan nama adik Pak Tjip yang meninggal waktu kecil," tulis Bu Lina.Â