Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tahun Martabak

26 Desember 2020   07:19 Diperbarui: 26 Desember 2020   07:23 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya sudah takpenting lagi berapa takaran gula, kacang, cokelat, meses, keju, atau juga sekeping ngilu. Seloyang martabak membuat puisi-puisi terbakar. Kata-kata telah dibajak, menjadi ambigu atau sesuatu yang lucu 

Orang-orang berbincang di gardu ronda. Membanting kartu, kopi, dan sekantong tahu Sumedang. Tertawa, entah untuk apa atau karena apa. Berdebat, siapa terpilih jadi menteri siapa pula yang berkemas pulang 

Hidup harus dibuat ngakak. Takingat caranya malu, lupa pula rasa martabak 

Sepuluh alasan bisa ditata, sepuluh lainnya bersalin rupa. Dan para pewarta lebih senang satu ranjang dengan istana. Yang penting isi lambung bisa terjaga 

Kebencian dibenci dengan rasa sangat benci. Ternyata bukan cinta saja yang buta. Tapi benci Juga tak bermata

Dan kita selalu menjadi yang bukan siapa-siapa 

***

Lebakwana, Desember 2020 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun