Rasanya sudah takpenting lagi berapa takaran gula, kacang, cokelat, meses, keju, atau juga sekeping ngilu. Seloyang martabak membuat puisi-puisi terbakar. Kata-kata telah dibajak, menjadi ambigu atau sesuatu yang lucuÂ
Orang-orang berbincang di gardu ronda. Membanting kartu, kopi, dan sekantong tahu Sumedang. Tertawa, entah untuk apa atau karena apa. Berdebat, siapa terpilih jadi menteri siapa pula yang berkemas pulangÂ
Hidup harus dibuat ngakak. Takingat caranya malu, lupa pula rasa martabakÂ
Sepuluh alasan bisa ditata, sepuluh lainnya bersalin rupa. Dan para pewarta lebih senang satu ranjang dengan istana. Yang penting isi lambung bisa terjagaÂ
Kebencian dibenci dengan rasa sangat benci. Ternyata bukan cinta saja yang buta. Tapi benci Juga tak bermata
Dan kita selalu menjadi yang bukan siapa-siapaÂ
***
Lebakwana, Desember 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H