Ajari aku bagaimana membaca arti kemerdekaan, bila melihat anak-anak yang memanggul impiannya, membelah derasnya arus sungai, atau meniti jembatan rapuh, yang bisa saja sewaktu-waktu angan-angan mereka runtuhÂ
Atau yang tinggal di perbatasan, di balik gunung, berdampingan dengan hutan-hutan yang masih perawan, malam-malam berteman cahaya bulan, atau menemui kesunyianÂ
Dan di tempat-tempat yang tak tertera dalam peta, yang luput dalam percakapan urun-rembug sekeliling meja, yang penduduknya takut menyangkutkan mimpi anak-anaknya ke tinggi angkasa, karena lampu-lampu yang mempunyai kuasa tak pernah menerangi isi kepala merekaÂ
Tapi kenapa pula kita harus membaca jauh. Sebuah tempat namanya ibu kota, sejarak sepelemparan batu dari istana, berhimpit bedeng-bedeng kumuh, setiap hari para penghuninya menata hari: Pagi ini makan apa, sore hari entah bagaimanaÂ
Jangan lihat televisi
Di sana hanya ada rekaman orang-orang berbaris dengan gerak tertata, pidato-pidato, salvo, dengan irama yang kita sudah tahu urutannyaÂ
***
Cilegon, Agustus 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H