Kutitipkan puisi ini pada lambung-lambung yang sepi, karena beberapa hari belum terisi, sementara mata-mata yang melihat mendadak membuta, amnesia kepada tetangga maupun saudaraÂ
Kutitipkan juga puisi ini kepada mata yang mempunyai hati, untuk hati yang memiliki mata, agar tahu tentang banyaknya perih yang tak beruntung, menyusuri hari dengan tubuh limbungÂ
Aku ingin juga puisi ini dibaca peracik kata, yang tak ada tara dalam melarungkan benci dan cinta di kanal linimasa, tanpa melewati banding dan saring, untuk luapan sesaat tentang diri yang merasa palingÂ
Tapi aku ragu untuk menitipkan puisi ini kepada yang mempunyai sepatu, yang digunakan untuk menginjak, lebih peduli hanya kepada kelompok dan puakÂ
Tak arif bagaimana berpijak di jalan yang bijakÂ
***
Cilegon, April 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H