Ingin aku membuat kisah cinta yang sederhana. Tentang rambutmu seperti dalam iklan shampo, dan rambutku yang tak pernah disisir, menyampirkan jaketku yang jarang dicuci pada bahumu. Menyusuri boulevard pada suatu malam, dekat taman kota yang lampu-lampunya baru saja dihidupkan.Â
Kita berciuman di bawah pohon palm, sorot lampu kendaraan dan lampu jalan membentuk kita seperti siluet dari kejauhan, seperti mural di dinding-dinding kota, atau gambar pada poster film, atau seperti gambar pada kartu pos yang dikirim seorang tentara saat di medan tempur, untuk kekasihnya, yang ia sendiri tidak tahu kekasihnya sudah dipersunting orang. Mungkin pelukisnya terinspirasi oleh kita, atau mungkin kita yang menirunya.Â
Kita berhenti di warung tenda kaki lima. Kau memesan sepiring kecil cumi, aku makan lebih banyak kerang. Ada lagu tentang cinta dinyanyikan sepasang pengamen. Mungkin mereka pasangan kekasih, mungkin juga tidak, atau kita yang menjadi cumi dan kerang, dimakan sepasang kekasih, kemudian ada pengamen mungkin sepasang kekasih, menyanyikan lagu tentang cinta.Â
Tapi yang lebih sering uangku hanya bisa untuk membeli  setengah bungkus rokok dan segelas kopi, maka kita berbaring di rerumputan, menghitung bintang, atau mengangankan jumlah anak-anak kita nanti. Aku ingin tujuh, biar mereka nanti menjadi tujuh jagoan, seperti dalam film the Magnificent Seven
Enak aja, katamu. Aku ingin dua, tapi yang pertama seorang lelaki, dan besar nanti menjadi jagoan, dan meninju hidungmu, kalau-kalau nanti kau menghianatiku.Â
Mungkin kita jadi boulevard saja, yang banyak orang, kendaraan, berlalu-lalang di atas tubuh kita. Di kiri-kanannya berjajar pohon palm, dan siapa tahu ada sepasang kekasih berciuman di bawahnya, membentuk siluet karena sorot lampu jalan dan kendaraan. Lalu duduk di warung tenda kaki lima, memesan sepiring kecil cumi dan lebih banyak lagi kerang. Ada lagu tentang  cinta dari sepasang pengamen, yang mungkin mereka sepasang kekasih.Â
Seperti halnya kisah cinta, tentu kita saling tatap, senyum, dan menertawakan hal-hal yang mungkin tak terlalu lucu. Kita makan kacang rebus yang dibeli di pinggir jalan, dan aku melemparkan kulitnya pada rambutmu. Kau membalas dengan mencubit lenganku. Sakit, tanyamu. Tidak, jawabku. Walau sampai di rumah kudinginkan dengan batu es.Â
Kita juga minum kelapa muda, satu berdua, di bawah payung warna-warni. Bukan sok romantis, atau meniru adegan film, tapi memang segitu sisa uangku.Â
Dan kisah, tentu akan berujung. Bukan berakhir, tetapi untuk memulai kisah yang baru.Â
Pagi ini dalam kerumunan yang kecil namun hikmat, dalam lingkaran kehangatan, aku berada di tengah. Tanganku digenggam ayahmu.Â
"Kuterima nikahnya...!"