Mengapa orang-orang lebih melihat bola matanya, mengumpulkan mendung, menghujani perjalanan nasib yang sering limbung. Padahal matahari tak pernah ragu, mengabarkan cuaca setiap pagi, langit cerah, awan berarak dengan bentuk indah yang berubah-ubah.Â
Begitu pula hujan, bagaimana mengajarkan terjadinya titik air, karena awan-gemawan saling lekat membentuk kegelapan yang pekat, kemudian pecah berhamburan bermilyar jarum air, dan tak ada yang berkhianatÂ
Tapi orang-orang lebih suka mendustai isi kepala, hingga membuat sempit rongga dada, hati begitu kemarau, mata hanya melihat jalan-jalan yang risau, seolah-olah akan berselancar di lautan pisauÂ
Lalu tanah-tanah, pebukitan yang runtuh, menyapu rata tempat bernaung, ladang-ladang yang subur, juga orang-orang tercinta, bukanlah isyarat perjalanan akan tamat, tapi untuk mengingatkan hati jangan jauh-jauh kepada Tuhan yang sangat dekatÂ
Deretkan lagi hama yang meruyak, menguburkan harapan tentang tetanaman yang rusak. Wabah yang tak terduga, yang dulu tak ada dalam kosakata, yang sebenarnya sebagai cermin pengingat, agar kita selalu membacaÂ
Tentang kekuasaan yang maha dari segala mahaÂ
***
Cilegon, April 2020.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI