Kubayangkan kita menjadi bagian dari larik puisi dari penyair yang sedang jatuh cinta. Tak penting apakah dia penyair ternama , atau yang baru belajar menata kataÂ
Kau ingin seperti apa. Menjadi bunga atau ingin ditulis dengan metafora aneh dengan luapan yang tak terduga, hingga pembaca seperti terlontar ke negeri asing tak bernama. Atau dengan kata-kata biasa
Atau mungkin kita dipertemukan di sebuah halte, di stasiun kereta, di keramaian entah di manaÂ
Atau engkau sedang berlari di bawah hujan
( Aha, hujan. Diksi ini banyak disukai penyair)Â
Kalau boleh aku meminta, aku ingin penyair itu mempertemukan kita di sebuah kafe. Kau duduk di sudut, sedang aku menjadi baristaÂ
Tentu sebelumnya ada percakapan, musik yang lembut, dan ada sepasang kekasih berciuman di bawah temaram lampuÂ
Kau melambaikan tangan, memberi pesan kepada seorang pelayan. Buatkan aku secangkir puisi yang hangat, agar lirik-liriknya menjadi kafein, memacu pembuluh darah. Rindu yang sempat padam meletik menjadi baraÂ
Aku - demikian digambarkan puisi itu  - mengguncang ribuan kata dalam mesin pembakar. Tercium aroma birahi
Saat kutuang ke dalam cangkir, puisi itu seperti menggelegak