"Bagaimana kalau naskah-naskah puisi ini dibakar?"
Seorang perempuan bertanya pada suatu pagi. Matanya terlalu lelah setiap hari bersirobok dengan tumpukan kertas-kertas, novel, majalah, juga terselip mimpi-mimpi yang perlahan runtuh dihentak suara mesin tik tua. "Hidup memang indah untuk diabadikan dalam puisi, tapi menjalani hidup tak semudah dan seindah puisi-puisi yang kamu buat."
( Sudah enam bulan puisi-puisi dan cerpenmu tak dimuat di koran )Â
Lupakan untuk menjadi pengarang terkenal. Jadikan hari-hari yang lebih masuk akal. Uang sekolah anak kita tak mungkin ditukar dengan beberapa puisi, bukan?Â
Aku tidak menggeleng tidak juga mengangguk. Tapi perempuan itu menyalakan api. Semakin membesar ketika satu kardus buku-buku tenggelam di dalamnya. Kubaca ulang terakhir kali guntingan koran yang memuat cerpenku yang pertama; tertulis namaku sebagai pengarang. Aku gugup menafsirkan hatiku: Bangga atau sedih. Tapi kemudian aku menertawai diriku sendiriÂ
Sejak itu aku tak lagi menulis puisi, juga cerita-cerita. Matahari dan debu jalanan adalah puisi hari-hariku. Aku begitu letih, dan wajahku lebih cepat menua dibanding usiakuÂ
Sampai aku bertemu dirimu. "Bisa buatkan puisi untukku? Bapak seperti seorang seniman."
Aku seperti melihat puisi lagi, di kedalaman senyummuÂ
***
Cilegon, Oktober 2019Â