Ibuku embun. Setiap pagi ia menyapa dengan kesejukan. Tapi tak lama, ia pergi diusir matahari. Mungkin matahari ini adalah ibuku. Tapi kenapa tiap jelang malam ia menghilang. Padahal malam itu aku ingin merasakan hangatnya pelukan ibuÂ
Mungkin ibuku adalah angin. Aku tak bisa menyentuh, tapi kurasa kehadirannya. Tapi tiba-tiba ia membadai, memporakporandakan angan-anganku. Bukan, ia bukan ibukuÂ
Api, mungkin dia. Tapi api yang menghanguskan cintaku. Ibu, aku yakin tak akan membakar anaknyaÂ
Lautan, aku yakin dia ibuku. Tapi kemudian ia menjadi ombak yang bergulung-gulung, peganganku menjadi limbung, aku terlempar ke dasar palung. Ibu tak mungkin menenggelamkanÂ
Ibuku adalah pohon yang rimbun. Aku selalu berteduh di bawahnya. Tapi kenapa tiap malam ia menjadi sosok yang menyeramkan. Ibu tak pernah menjadi hantu untuk anaknyaÂ
Kurasa ibuku adalah sekuntum mawar,  wanginya melambungkan perasaanku.  Tapi aku terkena durinya. Ibu, tak mungkin melukai              Â
Mungkin ibuku gunung, batu, kayu, sungai, jalan, kota-kota yang tak peduli, desa-desa yang kehilangan penghuni, lagu cinta, novel, atauÂ
Atau sebuah puisi. Tapi puisi adalah kegilaan penyair yang tak terima dengan patah hatiÂ
Ibu, ibu,
jangan pergi, aku belum puas dengan pelukmuÂ
***
Cilegon, 2019Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H