"Bisa kau datang malam ini?" suaramu dalam hape membuat aku terpelanting dari mimpi yang baru saja kutata. Berhenti bicara politik, kalau kita hanya bersitegang suara, atau kau kulempar ke Selat Sunda, bila kata-kata tak ada isi tak mempunyai makna. Seperti biasa, kau tertawa
Dingin menembus jaketku.Â
Anjing-anjing tak lagi menyalak. Karena lelah, atau terkejut dengan knalpot motorku yang meledakÂ
Kutembus malam, melewati wajah-wajah muram, seirama dengan lampu-lampu jalan yang temaram. Seorang pengamen duduk termenung di pinggiran trotoar memeluk gitarnya, berhitung ke mana nasib akan disandarkan
Kau sudah menanti di beranda, juga dua gelas kopi sudah tersedia. Kau bercerita, bahwa kepalamu sudah menjadi kuburan massal dari perbincangan di lini masa yang cepat mati makna, karena memang keranda tidak disediakan untuk kematian kata-kata. "Bagaimana?" tanyamuÂ
Menulislah. Kematian kata-kata dapat dihambat dengan kelahiran kata-kata. Kata-kata penuh cahaya, bukan kata-kata penuh angkaraÂ
Tak ada lagi anjing-anjing yang menyalak
***
Cilegon, 2019.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H