Mohon tunggu...
yanuar syah
yanuar syah Mohon Tunggu... -

i'm fat...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Cari makan atau Etika ? Pilihan seorang Apoteker

8 Oktober 2011   06:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:12 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teett.tettt.... Bunyi bel di apotik instalasi RSUD “ ada abbocath AD (red: inisial pemeran utama)?” kata perawat di balik jendela kaca. Ada, nih....seraya memberi abbocatth ke perawat untuk pasien di UGD. AD kembali meneruskan obrolan dengan Medical Representative(MR) dari sebuah PMDN farmasi, walau jam menunjukan pukul 1 malam. Banyak juga informasi yang didapat AD dari obrolan dengan MR tersebut. Mulai dari keluh kesah target penjualan yang tidak pernah masuk, pembayaran RS yang amburadul, dokter-dokter yang kerjasama dengan dia, sampai “upeti’ yang disetor ke orang-orang tertentu di RS. Sebenarnya AD tidak terlalu tertarik dengan info-info tersebut, toh dia sudah tahu banyak dari MR yang lain, dan dari pekerjaannya hal-hal demikian terlalu naif jika tidak diketahuinya. Baunya santer, tapi susah cari buktinya. Mulai dari peresepan yang tidak terjangkau di harga (bayangkan satu resep dr. Spesialis Bedah Tulang bisa sampai 3 juta rupiah dengan hanya 1 jenis antibiotik cefotaxime). Padahal kalau dengan generik paling mentok hanya 750 ribu. Ahh..mungkin emang dokternya sangat percaya dengan mujarab produk DARI farmasi tersebut pikirnya... Atau mungkin memang MR nya sangat jitu mengeluarkan “jurusnya’ sehingga dokter banyak yang meresepkan produknya....ah, emang gw pikirin katanya. Biarin ajah IDI yang mikirin, toh mereka punya wadah sendiri buat ngurus gitu2an. Tapi, ada satu informasi dari MR malam itu yang membuatnya harus mikir. Bos-nya (Kepala Instalasi Farmasi RS) ternyata dapet jatah “upeti” sekian persen dari Farmasi MR tersebut. Maklum dia jadi berpikir, soalnya AD juga seorang apoteker alumni perguruan ternama di Yogyakarta, statusnya sama kayak bosnya. Selama ini dia juga kadang mendapatkan bingkisan dari MR, tapi hanya sekedar makanan dan minuman. Yah, lumayan lah buat temen jaga malam pikirnya. Tapi AD tidak menyangka, kalo bosnya dapet setoran besar. Kampret! Pantesan dia dan kawan-kawannya pernah di suruh bos mengganti sebagian besar resep dengan produk suatu farmasi A. Kroco yang kerja keras, bos yang dapet nangkanya. “Dapet duit gede dari farmasi A rupanya!”, maki dia dalam hati. AD jadi berpikir, kalau tiap satu farmasi bisa setor sekian juta di kali sekian farmasi...”wahhh, kapan gw jadi bos yah, pegang posisi kunci” celetuk imajinasinya menggoda. Tapi, sekelebat bayangan orang lusuh yang membawa resep senilai 3 juta yang harus ditebus mengganggu imajinasinya. Pantesan obat pada mahal, ternyata biaya promo/upeti nya memang banyak. Dari obrolan lanjutan dengan MR tersebut, ternyata biaya promo mulai dari standarisasi RS, yang harus setor sekian belas persen kalau mau masuk standarisasi, promo ke dokter sekian belas persen untuk berbagai kebutuhannya, baik yang ilmiah atau non-ilmiah, promo ke bagian pembelian aka (termasuk) bos AD, promo ke perawat biar resep produknya ga di ganti, syukur-syukur gantiin produk farmasi lain, promo ke personal apotek biar makin lancar...ibaratnya ga ada makan gratisan kata MR tersebut. Walau upeti ke bosnya hanya secuil persen dari total promo obat, tetep aja AD jadi berpikir. Andaikan suatu saat nanti dia naik jadi bos, pasti tawaran menggoda tersebut akan menghampirinya, kalo di tolak..sayang masa rejeki ditolak. Hanya mengandalkan gaji “tekab” apotik kecil di kawasan pinggiran kota pasti tidak akan mampu menutupi kebutuhan hidupnya. Mengandalkan gaji PNS golongan IIIB di jaman kayak gini? Apalagi sebentar lagi dia mau nikah, terus punya anak, ingin punya rumah, mobil...Terlalu berat untuk menolak rejeki tersebut, seiring kebutuhan yang semakin menggunung. TAPI, sekejap idealismenya muncul..:akh, gw ga mau seperti bos gw”. pikirnya. Terbayang temen-temannya yang sudah jadi manager di Industri Farmasi, pasti mereka sudah mapan dan ga berhubungan dengan aneka ‘biaya’ tersebut. Sekejap muncul satu pertanyaan. Lah, kalo para manager di pabrik yang bikin obat bagus-bagus itu tapi obatnya ga laku gara-gara ga pake biaya siluman, berarti sami mawon donk, ada keterikatan marketing dan industri di sana. AD jadi bingung... “Mas, mas...saya permisi mas” Tiba-tiba lamunan AD terhenti, ... Saya mau pulang dulu, kasihan istri saya sendirian di rumah kontrakan ga ada yang nemenin....kata MR teman ngobrolnya.... Oiya, silahkan..nanti kamu di omelin lagi kayak kemarin pulang jam 2 malam terus...kata AD Tinggallah AD termenung sendiri menghabiskan jam jaga malam di apotek UGD melanjutkan kebimbangan tadi.........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun