Mohon tunggu...
Wahyu Aji
Wahyu Aji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bloger Pulang Kampung

suami, ayah, teman, tetangga, dan warga dari sebuah komplek. bisa bercakap-cakap di IG: @wahyuaji80 atau Twitter: @densatria

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Marzuki Alie dan Apa yang Dipikirkannya

9 Mei 2012   14:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:30 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1336585741323236182

[caption id="attachment_187350" align="aligncenter" width="620" caption="Marzuki Alie (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)"][/caption]

Jakarta belum beranjak terlalu siang, ketika Marzuki Alie menjadi ”hot topic” di berbagai media online sejak dua hari lalu.  Muasalnya ketika berpidato di kampus UI, ketua DPR tersebut menyebut koruptor banyak yang berasal dari alumnus UI dan UGM.

Obyek Sentimen

Hari ini satu dua berita dari kejadian dua hari lalu itu masih muncul tapi relatif lebih landai. Tidak sebenci kemarin. Namun meskipun demikian tetap menarik untuk diamati sebagai sebuah fenomena massa dan media.

Rasa-rasanya Marzuki Alie memang sudah menjadi obyek sentimen publik. Entah apa yang membuat setiap kata-kata Ketua DPR ini sering memancing ketersinggungan masyarakat. Apakah hanya ”pokoknya karena tampangnya nyebelin” atau faktor lain? Yang jelas tidak kali ini saja siapapun merasa perlu memberikan counter argument terhadap pernyataan Marzuki.

Atau, jangan-jangan karena kegenitan media sehingga publik ikut-ikutan genit. Atau karena media semakin sering menyajikan berita layaknya panggung drama, sehingga publik ikut-ikutan mudah kesinggung dan sentimentil.

Mari kita lihat dari kejadian setelah pidato Pak Marzuki Senin itu.

Yang pasti berita cepat menyebar. Kelihatannnya media (wartawan) spontan berpikir untuk menanyai tokoh-tokoh lain sebagai bagian dari proses mencari opini pembanding agar seru. Supaya menarik dan memiliki kedekatan emosional dengan topik, tokoh-tokoh yang dijadikan sumber diprioritaskan alumni kedua perguruan tinggi tersebut.

Padahal, mungkin sebagian besar narasumber yang ditanyai pendapat belum tahu-menahu tentang pernyataan Marzuki Alie Senin siang itu. Mereka justru baru tahu dari wartawan yang bertanya dan langsung memberikan komentar.

Entah bagaimana cara bertanyanya, yang pasti pidato Marzuki itu akhirnya ditanggapi macam-macam oleh para tokoh penting. Mulai dari politikus hingga rektor Universitas Paramadina merasa keberatan dan menyayangkan pernyataan Marzuki Alie tersebut. Seorang pengacara bahkan langsung berencana melaporkan Marzuki ke polisi karena pidatonya (pengacara tadi kira-kira ikutan dalam ruang ketika Marzuki Alie pidato tidak ya?)

Efek kait-berkait menular begitu cepat melalui internet dan social media. Pembaca portal berita dengan lincah saling berkomentar, disambungkan via twitter, sebagian melakukan sharing melalui akun facebook. “Intinya, si Marzuki ini bikin gara-gara lagi, mari kita habisi ramai-ramai,”  begitu kira-kira psikologis sebagian publik dalam komentar-komentarnya.

Mereka yang harus selalu salah

Catatan ini tidak bermaksud berlebihan membela Marzuki Alie. Tetapi rasanya kita sudah maklum bahwa salah satu “jobdesk” mereka yang sedang berkuasa memang untuk menjadi obyek cemoohan. Siapapun orangnya asal dia berkuasa pokoknya harus dicemooh. Bego, tidak merakyat, pembohong, curang, tidak tegas, cuma berwacana, minim action, lamban, asal ngomong, dst.

Sebut saja JK ketika masih menjadi Wapres. Pernyataan-pernyataannya tentang kenaikan harga BBM, konversi minyak tanah ke gas, dan masih banyak lagi juga sering ”menyakiti hati rakyat”. Waktu itu kita melihatnya sebagai raja tega, berperasaan dingin, ceplas-ceplos tanpa meraba perasaan masyarakat. Bahkan slogannya ”Lebih cepat lebih baik” pun kita salah tafsirkan sebagai ungkapan kesombongan dan kecongkakan.

Tapi kini banyak yang menyadari apa yang beliau lakukan dengan gaya yang luwes, jujur, dan straight to the point memang kita butuhkan. Kita butuh pemimpin yang tidak banyak basa-basi.

Atau coba ingat ketika masa Gus Dur. Tokoh satu ini tidak pernah kehabisan amunisi kontroversi. Satu saja contoh, misalnya, ketika ia menyebut anggota DPR mirip anak TK. Banyak orang marah – mungkin  termasuk kita, dan melihatnya sebagai ucapan yang tidak layak dikeluarkan oleh seorang presiden. Tapi kini kita mengenangnya sebagai kebenaran belaka. Bahkan kita rindu sosok Gus Dur yang begitu rileksnya bisa meruntuhkan kekakuan lembaga kepresidenan. Kita juga ramai-ramai mengusulkan beliau sebagai pahlawan nasional.

Siapa tahu Marzuki pun demikian. Kita sewot dengan ucapannya hanya karena dia sedang berada di atas tahtanya sekarang. Tapi mungkin nanti kita menyadarinya sebagai kebenaran. Ketika itu beliau sudah tidak menjabat apa-apa di panggung kenegaraan.

Komentar dulu? Gali info dulu?

Berkomentar memang tidak membutuhkan modal apapun. Berbagai saluran media kian memudahkan orang untuk berkomentar.

Sayangnya ada satu kearifan yang hilang ketika kita kebanjiran pilihan media untuk berkomentar: bahwa ternyata banyaknya pilihan sumber informasi tidak serta-merta membuat orang lebih banyak menggali informasi sebelum berkomentar.

Apalagi, misalnya, dengan 140 karakter saja, berkomentar menjadi kegiatan yang semakin menyenangkan karena lebih cepat dan spontan, dibandingkan dengan kegiatan menggali informasi yang membutuhkan ketelitian.

Coba kita tengok lead dari salah satu berita di portal berita ini:

”Ketua DPR, Marzuki Alie, menyebut banyak koruptor merupakan alumnus UI dan UGM. Wakil Ketua Komisi II DPR yang juga alumni UGM, Ganjar Pranowo, meminta Marzuki membuktikan kata-katanya”

Berita ini berjudul "Alumni UGM Minta Marzuki Buktikan Pernyataan Alumnus UGM Banyak Koruptor". Tulisan ini bersumber satu orang saja. Dan langsung mendapatkan 53 komentar, diteruskan ke lebih dari 100 twit dalam sekejap. Pembacanya tentu lebih banyak lagi.

Jangan-jangan kecenderungan untuk cepat berkomentar jug dipicu oleh kecenderungan media (terutama online) menurunkan berita secepat mungkin meskipun masih sepotong.

Dalam hal ini, saya setuju dengan Marzuki Alie ketika menanggapi polemik banyak orang akibat pidatonya tersebut, terutama tentang ancaman seorang pengacara untuk menuntutnya secara hukum.

"Apakah dia sudah baca pidato lengkapnya, apakah sudah klarifikasi?" tanya Marzuki.

“Dia tidak bisa mengajukan gugatan hanya berdasarkan berita media, coba baca dulu pidatonya. Kan ada pembukaannya, dan isinya, tidak begitu saja seperti di berita media," lanjutnya.

(buat yang penasaran, bisa lihat video yang sudah diunggah oleh Humas UI)

Kini berita tentang ini memang sudah tertutup oleh berita lain yang lebih aktual. Apalagi baru saja sebuah pesawat Sukhoi Superjet yang sedang joyflight hilang di wilayah Bogor (semoga Tuhan melindungi para awak dan penumpang).

Tetapi sebuah kearifan selayaknya menjadi pegangan kita di masa mendatang. Agar lebih mengutamakan menggali informasi sebelum secara spontan memberikan komentar panas.

Lagi pula, "Siapapun tidak bisa mengadili siapa saja karena pemikirannya," begitu kata Marzuki yang menurut saya: benar juga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun