Mohon tunggu...
Wahyu Aji
Wahyu Aji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bloger Pulang Kampung

suami, ayah, teman, tetangga, dan warga dari sebuah komplek. bisa bercakap-cakap di IG: @wahyuaji80 atau Twitter: @densatria

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Leluhur Kita Bukan Viking, Bukan The Jack, Bukan Bonek

29 Mei 2012   08:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:39 3900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1338279296619657523

Satu hari menjelang sore, saya menumpang bis kota menuju kantor. Sampai di sekitar stasiun Cawang, segerombol anak muda tanggung (ABG) berbaju oranye melambai-lambaikan bendera, ada yang menunjuk-nunjuk, memberi isyarat mereka mau menumpang bis kami. Pak Supir beserta 'ABK'-nya tak punya pilihan lain, meski malas dan ogah ia menghentikan juga bisnya. Memberi kesempatan segerombol anak muda itu naik. Bis yang mulanya lengang dan tenang langsung jadi sesak. Suasana yg awalnya biasa-biasa saja menjadi tak nyaman dan  tegang. Penumpang ambil posisi masing-masing, mengambil sikap pertahanan yg paling mungkin. Memastikan dompet, tas, ponsel, barang berharga semua aman. Sore itu ternyata Persija akan bertanding di Gelora Bung Karno. Saya lupa melawan tim mana. Tapi yang jelas, setiap kali pertandingan Persija, Jakarta seperti Siaga 1. Di Twitter dan media sosial lainnya ramai-ramai memberi pengumuman bahwa The Jack sedang bertanding, warga diharap hati-hati dan menghindari rute-rute tertentu. Selain macet, juga berjaga dari hal yg tidak-tidak. Dan tiba-tiba saya sudah di dalam kerumunan anak muda tadi. Mereka, saya lihat, rata-rata berwajah baik. Ada yang masih pakai celana dan berselempang tas sekolah. Mereka pun kelihatannya juga membayar ongkos bis, meski beberapa sepertinya tidak. Tapi bersama-sama seperti itu, dengan warna kaos yang sama, dg 'semangat' yang sama, mereka tidak lagi bisa dianggap enteng. Entah mengapa, wajah-wajah polos mereka tiba-tiba seperti mendenguskan kebengisan. Ibaratnya, kalau pun saya dulu pernah latihan silat sampai sabuk merah plus takwondo dan kungfu, kalau harus berhadapan dengan acaman fisik ABG-ABG itu, saya mending berdamai saja. Atau melipir pergi. Tidak usah cari gara-gara. Terbayanglah berita-berita di media tentang kerusuhan akibat ulah supporter kesebelasan. Menang tak menang, seri, tetap saja bikin ngeri. Mengancam apapun yang dilewati. Seperti banteng, tak penting di depannya seorang matador atau kakek-kakek sedang kehilangan kacamatanya, dua-duanya bisa celaka akibat ulah supporter.

***

Lalu saya jadi berpikir (untuk mengalihkan pikiran dari pikiran yang tidak-tidak akibat membayangkan kebengisan ABG-ABG di sekeliling kami). Sebenarnya ini gejala sosial apa? Mengapa yg seharusnya menjadi supporter (= pendukung) malah jadi seperti gangster? Bukankah mereka sedang mendukung kesebelasan kebanggan kota mereka, bertanding di kota sendiri, bertemu dengan sesama warga kota yang sama, tetapi kenapa mereka seperti alien kelebihan energi yg tak tahu diri? Seperti gerombolan pengacau penebar ketakutan. Mungkin yang lebih cocok mengkaji masalah ini adalah sosiolog, bagus kalau ditambah psikolog, plus kriminolog mungkin bisa bikin afdol. Tetapi kalau boleh berasumsi sementara, memang seperti itu sifatnya sebuah gerombolan. Mereka seperti bukan siapa-siapa ketika sendirian, tapi tiba-tiba punya 'kekuatan yang aneh' kalau bersama-sama. Dan sayang sekali, yang bergerombol tersebut banyak kategori anak-anaknya. Sepak bola, yang seharusnya membangkitkan prestasi, jiwa sportifitas, di luar lapangan justru jadi persemaian kekerasan yang subur. Di Bandung, anak-anak kecil bangga sekali pakai kaos biru bertuliskan "Wasit GOBLOG", "The Jack Anjing", "Persib Jiwa Raga Kami", dan sejenisnya. Di Jakarta, sama gitu juga. Dan alangkah mirisnya saya Sabtu lalu ketika berjalan-jalan dengan istri. Seorang anak kecil bermain sepeda, berkaos hitam, dengan tulisan berwarna putih jelas di punggugnya berbunyi: "BONEK. DIAM MENAKUTKAN, BERGERAK MEMATIKAN". Apa-apaan ini? Sama sekali tidak lucu. Dan anak yang bermain sepeda tadi di mata saya mendadak menjadi tidak lucu sama sekali. Rasanya ini harus menjadi perhatian bersama. Menjadikan sepak bola sebagai tontonan menyenangkan, mendamaikan, mendidik. Jangan sampai ada korban lagi seperti hari ahad lalu di GBK atau di manapun juga. Tumpas segala tindak provokasi yang awalnya hanya kata-kata tetapi kemudian menjadi adu senjata. Kita ini anak Indonesia, seharusnya sama saja. Atau kita lebih memilih menjadi bangsa Viking, bangsa The Jack, atau bangsa Bonek? Saya tidak ikutan kalau begitu.  []  @densatria [caption id="attachment_191325" align="aligncenter" width="604" caption="image pinjam dari: http://bekasi-online.blogspot.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun