Salah satu kebiasaan yang saya ingat ketika kecil dulu tinggal di desa adalah menggunakan waktu sholat sebagai penanda waktu bagi aktivitas sehari-hari.
Kakek saya  (dan tetangga-tetangga satu desa), misalnya, setiap selesai subuh, setelah sarapan, ngeteh, atau ngopi-ngopi ringan - sekitar jam setengah enam pagi, biasanya pergi ke sawah. Hingga menjelang dzuhur, mereka pulang ke rumah untuk mandi dan istirahat  sampai sekitar jam setengah dua. Kalau tidak sedang kembali ke sawah, ada saja yang dikerjakan di rumah, membuat ini dan itu, atau menerima tamu, membuat pagar tanaman, dan sebagainya. Sampai ashar. Ba'da ashar, biasanya digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan ringan di rumah. Para ibu memasak untuk keperluan makan malam, anak-anak bermain berlarian di halaman. Maghrib adalah waktu yang sakral. Tak ada satupun yang keluar rumah kecuali orang dewasa. Langgar-langgar (surau/mushola) ramai suara anak mengaji. Ba'da Isya, suasana kembali hening, giliran televisi atau radio yang menyala. Atau para tetamu saling beranjang sana. Hingga jam 9 malam.
Jaman sekarang, pastinya agak repot untuk seperti itu. Selain karena kita tidak sedang tinggal di desa, ritme hidup sering kali serba cepat, serba mendesak, dan serba sibuk. Waktu sholat lebih sering tergantikan dengan kata-kata "lunch time", atau "jam pulang kantor", dan lain-lain.
Tapi seorang sahabat mengingatkan, kenapa kita tidak menggunakan saat-saat sholat tersebut sebagai penanda aktivitas sehari-hari sekarang? Dimulai dalam lingkup keluarga sendiri atau teman-teman dekat, dengan mengganti waktu janjian "jam makan siang" menjadi "setelah dzuhur ya". Atau menukar ungkapan "Ketemu habis pulang kerja ya" menjadi "Setelah maghib, di .... ya".
Pertama, kita sendiri mengingatkan diri sendiri untuk tetap memprioritaskan sholat dalam keseharian. Kedua, secara tidak langsung juga mengajak orang lain untuk membiasakan diri dengan waktu-waktu sholat. Bagi sesama muslim, ini bisa jadi acara untuk saling mengingatkan secara halus. Kepada yang bukan muslim, rasanya pasti akan memahami kok. Kebiasaan seperti ini juga akan mengembangkan rasa saling toleransi.
Tapi bagaimana kalau nanti dikira kita sok alim, sok jaim, pakai bawa-bawa sholat di interaksi sehari-hari. Lho? Kita sih gak ingin bawa-bawa sholat untuk kepentingan sok-sok-an. Tapi sholat memang wajib, lima kali sehari, jadi mau tidak mau ini pasti akan mewarnai aktivitas kita sehari-hari. Justru kita seharusnya saling mengajak untuk sholat.
Saya sendiri sudah mulai menjadikan ungkapan ini sebagai kebiasaan sejak beberapa waktu lalu. Dimulai dari keluarga, sudah pasti. Lalu ke teman-teman dekat, teman-teman kantor, dan janjian dengan beberapa klien pun sudah mulai dengan seperti itu. Alhamdulillah, perlahan teman-teman dan relasi tersebut akhirnya juga mengggunakan ungkapan yang sama setiap janjian dengan saya. Syukur-syukur ketika saya mendengar mereka pun berjanjian dengan orang lain menggunakan kalimat yang sama. Ademnya mendengar waktu sholat yang lima disebutkan sebagai penanda waktu aktivitas kembali. "Oke, habis isya, sebelum jam 8 ya," enak bukan?
Dan efeknya, hidup menjadi lebih teratur ketika menyesuaikan ritmenya dengan lima waktu sholat tersebut. Sesibuk apapun kita. []
www.wahyuaji.com /Â @densatria
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H