Mohon tunggu...
Wahyu Aji
Wahyu Aji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bloger Pulang Kampung

suami, ayah, teman, tetangga, dan warga dari sebuah komplek. bisa bercakap-cakap di IG: @wahyuaji80 atau Twitter: @densatria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Inilah Teori "Pencitraan dan Publisitas" yang dipakai Jokowi

6 Januari 2012   08:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:15 1516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah sekali lagi Jokowi membuat haru biru masyarakat nasional karena dengan cekatannya memilih Esemka sebagai mobil dinas untuknya dan wakil, pasti ada yang berpikir apa yang dilakukan Jokowi adalah pencitraan.

Dan sialnya – pikir sebagian orang – pencitraan itu disambut publisitas yang luas.

Oke, dari pada membela Jokowi dengan mengatakan ia melakukan itu semua dengan tanpa tendensi apapun, mari mengikuti skeptical instinct yang berlaku umum. Dan anggap saja apa yang dilakukan Jokowi dengan mobil Esemka atau gebrakan dia lainnya (yang juga bisa mencetak hattrick) adalah memang pencitraan dan bertujuan publisitias.

Lalu apa yang membuat pencitraan Jokowi efektif? Atau setidaknya disambut oleh publik yang melampaui wilayahnya? Inilah jawabannya.

Pertama, menjadi yang pertama.  Sebenarnya sih apa yang dilakukan oleh Jokowi tidak selalu yang pertama, keculai menggunakan mobil Esemka sebagai mobil dinas. Tetapi meskipun tidak selalu yang pertama, ia berhasil menjadikan seakan-akan yang pertama.

Masih ingat ketika ia berseteru dengan Gubernurnya (Bibit Waluyo) beberapa waktu lalu? Perseteruan pejabat bawah dengan atasannya sudah lazim terjadi di mana-mana. Tetapi Jokowi berhasil membuat perseteruan menjadi anggun. Ia mencabut ijin pembangunan Mall di kota Solo yang padahal sudah direstui Bibit Waluyo.  Alasannya, karena Mall itu akan dibangun di area bekas pabrik gula yang seharusnya bisa dijadikan cagar budaya.

Alih-alih membabibuta hanya menolak pembangunan Mall. Tetapi Jokowi mengarahkan energi birokrasinya untuk mendorong pemberdayaan pasar tradisional. Dan ini diselesaikan dengan baik oleh timnya. Hasilnya, pasar tradisional di Solo bangkit dengan wajah yang lebih segar. Belum semuanya, tapi progresifitas perubahannya nyata.

Dan pernyataannya yang membuat publik bertepuk tangan sambil terharu waktu itu adalah, “Saya tidak anti pada investasi. Tidak mungkin kota tumbuh tanpa investasi. Tapi investasi bukan hanya urusan yang besar-besar saja, pedagang kaki lima, pedagang pasar … mereka itu juga investor yang mau berbisnis di Solo. Kalau pengusaha besar tidak dibantu pun mereka bisa tambah besar, tapi pengusaha kecil inilah yang perlu perhatian konkret dari pemerintah” – begitu kurang lebih.

Dan ohya, lihat gaya bahasanya. Rumit dan normatif khas pejabat? Atau mudah dipahami? Silahkan memberikan jawaban sendiri ya.

Kedua, memilih kegiatan pencitraan yang “gue banget” di hati publik. Ini butuh gabungan antara sensifitas dan kejeniusan, yang hampir mustahil dilakukan oleh birokrat atau pejabat yg punya kecerdasan pas-pasan saja.

Meminjam fenomena di stand up comedy. Apa yang sering membuat kita tertawa ketika menonton stand up? Menurut saya, materi yang disampaikan adalah yang kita banget. Masalah kita, yang dekat dengan kita, sehari-hari kita. Lalu berhasil dengan “gila” disampaikan polos begitu saja sehingga kita merasa konyol dan meledak tawalah akhirnya.  Siapa yang kita tertawai? Kita sendiri.

Jokowi juga begitu. Alih-alih berpikir pendek “yang penting dikenal orang” dengan cara membuat kontroversi, memasang baliho dan billboard foto dirinya di mana saja, atau pasang advertorial di majalah dan televisi, ia memilih materi yang “gue banget“ . Materi yang memang diangankan dan dirindukan publik tapi selama ini jarang sekali mendapat belaian kasih sayang:

Mengganti rencana pembangunan mall dengan meremajakan pasar tradisional (tanpa bakar2 pasar terlebih dulu lho), serius membangun transportasi publik sebelum Solo macet seperti Jakarta, dll ... hingga mobil Esemka. Itu kerindungan masyarakat banget. Oke deh, kalau Anda tidak termasuk yang rindu, saya ngaku saja: itu kerinduan saya banget (meskipun saya bukan orang Solo).

Saya rindu pasar tradisional yang apik dan bersih tapi orang-orangnya masih ramah dan apa adanya, saya rindu transportasi umum seperti di negara beradab ada di kota saya, saya pengen punya mobil sendiri – dan kalau ada mobnas, selain bangga pasti harganya bisa lebih terjangkau di kantong saya dari pada mobil merek import. Dan terutama, saya pun rindu pemimpin yang tidak hanya manis pidato atau senyam-senyum di foto billboard, tapi juga konkret action-nya.

Jokowi menjawab kerinduan hati banyak orang, bukan hanya pada level rencana tetapi tindakan. Maka pencitraan yang dilakukannya menjadi efektif.

1325838355438370186
1325838355438370186

Ketiga, menanggapi kontroversi dengan sumbu pendek.  Saya yakin Jokowi bukan orang yang takut berdebat. Tetapi ia meladeni debat dengan gayanya sendiri.

Saya jadi ingat film Taichi Master.  Jokowi mengembalikan kekuatan dan kemarahan lawan pada dirinya untuk membuat lawan-lawannya justru kehilangan simpati publik.

Lihat gayanya ketika dialog di depan publik (televisi). Jawabannya pendek-pendek dan kadang terkesan jaim:

Tidak ambil gaji karena merasa keluarganya masih bisa makan dan hidup cukup. Tidak mau mobil dinas baru (sebelum pakai Esemka) dan bilang bahwa Camry tahun 2001 bekas walkot sebelumnya masih bagus kok. Atau … ketika dua hari lalu melalui telewicara di sebuah televisi ia menanggapi komentar Bibit Waluyo yang menilainya sembrono memakai mobil Esmeka, ia tidak terlalu menanggapi.

Jokowi menyadari, menanggapi perdebatan dengan orang yang frekwensi logikanya berbeda akan sulit ketemunya.  Ia pilih dengan sopan tetap maju dengan pilihannya. Hasilnya, di berbagai forum online Bibit Waluyo dapat cibiran publik, dan Jokowi selain dapat sedikit cibiran (dari orang yang masih tetapcuriga apa yang dilakukannya hanya pencitraan) ia pun dapat banyak dukungan.

Sumbu pendek dalam berdebat. Tidak perlu menanggapi berpanjang-panjang. Tetap menunjukkan sopan santun. Dan lebih menyimpan energi untuk action. Itu gaya yang sangat cool, bukan?

Keempat, be original. Sebelum Jokowi muncul ke permukaan seperti sekarang. Di mata publik, Solo sering terlewatkan. Pertama karena terlalu dekat dengan Jogja. Kedua, karena Solo ya biasa-biasa saja. Semua yang ada di Solo, ada di Jogja.  Maka lebih baik bali wae ke Jogja(kembali saja ke Jogja).

Apa yang dilakukan Jokowi menarik karena orisinil. Gagasan menolak mall, bukan karena ada demo dari masyarakat dulu baru ia tolak. Gagasan transportasi publik, ia lakukan tidak menunggu kotanya macet dan orang mengeluh dan mencaci-makinya. Gagasan tidak ambil gaji, karena ia memang sudah kaya dan kekayaannya cukup untuk hidup anak istri. Gagasan tidak banyak duduk di belakang meja kerja tapi keliling dengan membawa palu untuk meninjau sendiri proyek-proyek pemerintah (palu gunanya untuk mengetes dinding kuat atau tidak). Gagasan tidak mau mobil dinas mewah, karena ia rasa Camry 2001 pun masih mewah kok (kategori mewah: tidak semua orang punya. Dan iya kan, tidak semua rakyatnya bisa beli Camry meskipun tahun 2001).

Jokowi masih meneruskan kegemarannya terhadap musik Rock dan jingkrak-jingkrak di lapangan jadi satu dengan penonton. Tentang ini saya pernah ngetes lewat twit Jokowi ketika Seagames sedang berlangsung:

@densatria: Pak@jokowi_do2, seandainya jd menteri, nonton semifinal ina-vietnam di tribun pejabat atau di bangku penonton y?

Lalu dijawab … @jokowi_do2: Pilih di tribun pnoton, bebas bisa sorak2 dan triak2 jg jingkrak2.

Orang percaya Jokowi akan seperti itu (nonton di tribun penonton) – dan bukan beraninya hanya ngomong saja, karena dia sudah membuktikan nonton musik rock saja berani di kerumunan penonton. Apalagi nonton bola.

Terkini, gagasan memplatmerahkan mobil Esemka pun termasuk salah satu yang jenius!!

Entah dari mana idenya, yang jelas ide ini belum terpikir oleh pejabat lainnya yang masih sekadar memberi tanggapan normatif terhadap ide mobnas dengan mengatakan “Kami mendukung penuh mobil nasional ini bla ... bla ... bla“ . Sementara itu, Jokowi sudah menungganginya. Soooo ... orisinil.

13258384121845129711
13258384121845129711

***

Begitulah teori pencitraan dan publisitas JOKOWI.  Bisa dipakai dalam kondisi apapun oleh siapapun.  Mau politisi, untuk kepentingan individu (personal branding), maupun perusahaan yang sedang butuh pencitraan, alih-alih menyewa konsultan pencitraan.  Kini apapun yang dilakukan Jokowi punya news value tinggi. Bukan menjual sensasi dan kontroversial, tetapi karena Jokowi sering menjadi yang pertama, masyarakat merasa “ini saya banget”, menanggapi kontroversi dengan sumbu pendek, dan orisinil.

Terbukti dan efektif, dari sebuah kota bernama Surakarta alias Solo. []

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun