Di tengah haru biru kebanyakan masyarakat terhadap munculnya bintang kejora dari Solo bernama “mobil Esemka“, ada sebagian yang lain bilang “Jangan termakan euforia, harus kita pikirkan teknisnya, rencananya, pasarnya … dst sebelum menuju memproduksi Mobil Nasional“ Publik yang kenyataannya beberapa hari lalu memang sedang ber-euforia merayakan “goal“ yang dicetak oleh Esemka akhirnya bingung. Lha, ini orang-orang pinter di tipi pada bilang kalau ide Mobil Nasional Esemka adalah euforia, lalu menyebut langkah pejabat yang mendukungnya adalah langkah pejabat yang sedang latah, jangan-jangan mobil nasional memang hanya sekilas mimpi di siang bolong. Jauh panggang dari api. Aliasngapusi (bohong), sudah semangat tinggi-tinggi, jangan-jangan nanti pless … lenyap begitu saja. Jokowi di telewicara pada televisi swasta mencoba membendung berbagai pikiran negatif tentang sulitnya membangun Mobil Nasional dengan mengatakan “Tolong jangan lunturkan semangat kita yang sedang tinggi ini. Kita terus maju, siapkan segalanya dengan teliti, sambil terus bersemangat”. Sebagai bagian dari publik kebanyakan yang sempat sorak-sorak ketika melihat mobil Esemka pamer kelincahan beberapa hari lalu, terus terang jadi agak “down” juga. Yahh … ternyata memang sulit. Ya sudah lah, mungkin beli yang sudah jadi memang lebih gampang. Lebih tidak repot. Lebih aman. Lebih baik. Lebih teruji kualitasnya. Lebih … ini lebih …. itu. Saya jadi terhempas oleh mesin waktu. Mungkin gejolak ini juga sama dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia di sekitar 1945. Ada yang bersemangat ingin merdeka dengan tangan sendiri, merebutnya dari penjajah, mumpun ada momentum. Tetapi sebagian lainnya – termasuk yang pinter-pinter – berpikir: menunggu Jepang pergi dengan sendirinya lebih baik, toh Jepang janji akan memberikan kemerdekaan, nanti kalau kita nekat malah banyak korban jiwa, nanti dulu ditata dulu, disiapkan dulu, diginikan dulu, di ini itukan dulu. Baru kalau sudah siap bolehlah kita merdeka. Sementara sebagian pemuda yang gagah berani berkata lantang: “Kesuwen (kelamaan), kalau bisa sekarang, kenapa tarsok-tarsok?“ Cerobohkah mereka yang dengan cinta dan emosi meluap pada ibu pertiwinya akhirnya berhasil “memaksa“ Soekarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus pagi di tahun 1945? Mungkin (mungkin lho ya), kalau ternyata keesokanlusanya Jepang yang sedang stress di barak ngamuk, atau Belanda datang menyerang lalu kita kalah dan menyerah, pasti ada yang bilang: “Tuuuuuuuh kan, dibilang juga apa, suruh nungguin saja sebentar lagi, jangan cepat-cepat Proklamasi, gak percaya. Sekarang tahu rasa, kita diserbu dan kita kalah, dijajah lagi deh. Dibilangin gakpercayasiiih. Ngisin-ngisini (malu-maluin) saja“. Untungnya rakyat kita menang mesti harus berdarah-darah melewati agresi militer I dan II dari Belanda serta sekutu pasca Proklamasi. Sehingga Proklamasi yang sempat dipaksakan tanggal 17 Agustus itu tidak dianggap sebuah kecerobohan. [caption id="attachment_163199" align="alignnone" width="600" caption="kiri atas dan kiri bawah adalah "][/caption] Eforia Esemka sekarang rasanya seperti keadaan genting di tahun 1945. Kita sudah lama merasa kalah, terhina, dan terjajah secara mental kebangsaan. Memang sih, tidak lagi harus bersabung nyawa seperti dulu. Malah penjajah saat ini datang dengan menawarkan berbagai zona kenyamanan dan kemudahan: Dari pada susah-susah bikin (apalagi nanti gimana kalau rugi?) Ini sudah ada yang bikinin. Kita tinggal impor, bayar, pakai, selesai. Kita tidak usah capek-capek mikir dan meras keringat bikin sendiri, toh pabrik perakitannya ada di sini, orang-orang kita juga kerja di situ. Kondisi ini mirip perkebunan jaman kolonial, di mana dari pada capek-capek mikir dan belajar tentang ilmu cocok tanam modern mending terima saja keadaan. Tohmasyarakat kita juga kerja di sana dan dapat upah kok. Mau melawan raksasa otomotif yang pasti tidak tinggal diam kalau kita coba-coba “merdeka” dengan membikin Mobnas? Ini tentu seperti mendobrak zona nyaman dan menabuh genderang perang untuk bekerja lebih keras. Sudah gitu belum tentu semua rakyat setanah air pro dan mau makai Mobil Nasinonal. Belum tentu lalu mobil-mobil Asia dan Eropa yang sudah puluhan tahun menikmati manis madu pasar Indonesia dengan legowo memberi jalan mulus pada anak-anak Esemka itu tanpa perlawanan dan intrik apapun untuk merontokkan semangat perjuangan. Untuk kita yang hidup dan lahir di generasi sekarang, kalau mau merasakan suasana dan eforia semangat ingin merdeka di tahun 1945, saat ini adalah saat yang tepat. Kita mau merdeka dengan adanya Mobil Nasional, tetapi mungkin kita juga termasuk yang bilang … “Ah …. eforia, ah … latah, ah … ini itu“. Dan (mungkin) kalau kita hidup di 67 tahun yang lalu, yang keluar dari pikiran dan lidah kita pasti juga sama: “Mau merdeka???? Ah … eforia“. Untung kita tidak hidup di tahun itu. Kalau kita yang hidup di jaman itu, mungkin di jalanan sekitar kita sekarang bukan hanya Toyota, Honda, Isuzu, Mitusubishi, Mercedez, BMW, Proton, Hyundai keluaran terbaru yang berseliweran dan kita tunggangi dengan bangga, melainkan tank, serdadu, pos-pos militer kumpeni yang ada di setiap sudut jalan, lalu kita membungkuk-mbungkuk setiap kali mau lewat di jalanan tanah tumpah darah kita sendiri. Untungg … untung …. [] [ monggo mampir di www.wahyuaji.com atau mari jadi teman bicara di @densatria ]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI