Dalam kurun waktu setahun setengah ini, jalan yang sering kami lewati sudah empat kali digali.
Gali lubang, lalu ditutup lagi, digali lagi, ditutup lagi. Hingga kemarin pagi ketika lewat jalan tersebut sudah ada pekerja yang bersiap menggali lagi. Jarak galian baru ini hanya dua meter dari bekas galian lama yang sudah ditambal aspal. Bahkan ada yang persis di titik sama.
Macam-macam yang ditanam. Seingat saya,mula-mula pipa, lalu kabel listrik, lalu kabel anu, dan kemarin pagi akan ditanam lagi kabel fiber optic (fo). Hebat ya.
Ada pepatah asli negeri ini berbunyi “gali lubang tutup lubang”. Makna tersirat dari pepatah ini sebenarnya adalah ”membayar hutang dari hasil berhutang, begitu seterusnya sehingga tidak habis-habis”. Tetapi kini ungkapan tersebut tampaknya bukan lagi menjadi pepatah, karena sudah jadi pemandangan yang bukan kiasan semata.
Jalan digali, diubek-ubek, ditanami sesuatu, ditutup diaspal. Tak lama kemudian digali lagi, mengulangi hal serupa sampai menutup kembali, tapi kali ini yang ditanam berbeda. Nah, adegan seperti inilah yang di jalan yang sering saya lewati (Jalan Jatiluhur – daerah Benhil, Jakarta) terjadi berulang-ulang sebanyak empat kali dalam kurun waktu setahun setengah ini. Di tempat lain, mungkin ada yang lebih sering digituin.
Harap Maklum
Ibarat bangunan Indonesia memang belum jadi betul. Masih banyak yang harus dibangun. Yang sudah jadi pun banyak yang perlu direnovasi karena sudah rusak lagi. Begitupun Jakarta. Kita masih butuh banyak infrastruktur. Jangankan yang urusan gali-gali pipa dan kabel. Kita masih butuh membangun jalan baru yang lebih lebar dan kuat. Kita masih butuh angkutan massal yang paten. Monorail, angkutan sungai, subway, kereta api, jalan layang, dst. Kita masih perlu lebih banyak tempat tinggal untuk warga, ruang-ruang terbuka untuk keperluan sosial, dsb. Singkatnya, kita memang masih membangun.
Jadi harap maklum kalau memang masih centang perenang.
Tapi apa memang harus demikian? Bukankah ilmu tata ruang, perencanaan, pembangunan, manajemen, teknik, semuanya sudah berkembang sedemikian pesat? Bukankah orang kita sudah banyak yang pinter tentang semua itu? Bukannya PNS-PNS yang bertugas mengelola manajemen pemerintah (pusat dan daerah) juga banyak sekali yang sudah disekolahin ke negara maju? Bukankah sudah sering konsultan asing di-order untuk membantu merencanakan blue print pembangunan ini itu? Tapi kok?
Memangnya tidak bisa ya gali-menggali ini dijadikan satu kali secara terpadu? Atau minimal jangan parah-parah banget sampai satu ruas jalan dalam setahun digali empat kali di titik-titik yang saling berdempetan.
Modus Auto
Ada dua kemungkinan kenapa kecentangperenangan ini terjadi.
Pertama, orang-orang yang bertugas mengurus negara atau daerah ini memang sedang tidur. Alias tidak ada yang benar-benar mengatur. Kalau pun ada yang mengatur ya ala kadarnya saja: asal sudah bikin perencanaan, menyelenggarakan sebanyak dan sesering mungkin tender, lalu semuanya disetel fitur auto pilot.
Kedua, pekerjaan penggalian ini memang harus sering diadakan karena sektor ini sangat padat karya (padat modalnya ada di atas, untuk nyuap pejabat atau politisi yang ’bantu’ dapetin proyek). Kalau benar demikian, inilah sesungguhnya bentuk ekonomi kerakyatan, di mana proyek galian dapat memberdayakan masyarakat yang masih banyak menganggur.
Tapi kita memang tidak betul-betul tahu mengapa pemerintah (daerah) kelihatannya berat sekali mengatur urusan galian ini. Yang jelas mari kita bersabar setiap melewati jalan yang digali-gali. Kalau tidak kena macet, hati-hati terperosok masuk dalam lubang.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H