Peribahasa 'Patah Tumbuh Hilang Berganti' agaknya sudah dipelintir menjadi sebuah dasar pengambilan hukum. Bayangkan saja, sebuah perusahaan divonis bebas hukum setelah membakar 20.000 hektar lahan.
Putusan hakim menyatakan, bahwa 'membakar hutan tidak merusak lingkungan, karena bisa ditanami kembali' itu ibarat petir di siang bolong. Amat mengagetkan dan luar biasa menghebohkan.
Bayangkan, seorang pemangku hukum dan pengambil keputusan mengatakan demikian. Tentu pertanyaan besar bagi seluruh masyarakat tentang dasar hukum yang diambil dalam memutus perkara tersebut.
Benar, jika hutan yang ranggas bisa ditanami kembali. Hal tersebut tidak bisa dinafikan ataupun disanggah. Berdasarkan program pemerintah pun demikian, baik melalui penghijauan dan sebagainya.
Namun, ada yang dilupakan oleh si pengambil keputusan tersebut, adalah waktu untuk membentuk hutan tersebut sebagai kawasan alami yang tak mungkin terulang kembali.
Bayangkan, menunggu sebuah kawasan kembali rimbun dan hijau setelah dibakar. Sekali lagi, setelah dibakar. Pasti membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Ditambah lagi, persoalan keanekaragaman hayati dan keragaman kekayaan alam yang tergantung dalam kawasan hutan tersebut.
Rasanya, hal tersebut jauh dari jangkauan pemikiran sang hakim. Dengan demikian, putusan tersebut menjadi sebuah dagelan baru dalam panggung parodi hukum Indonesia.
Ibarat pepatah disebutkan sebelumnya, putusan hakim tersebut terkesan konyol dan lucu. Bahkan, lucu sekali untuk kondisi lingkungan yang kian buruk seperti sekarang. Hehe..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H