Uang Rp100.000. Coba tengok dompet sahabat, ada berapa si merah di dalamnya? 1, 2, 10 atau tidak ada sama sekali.
Dompet saya kebetulan ada satu, dan menjadi satu-satunya selain uang kertas 500 an dan 1000 an yang tidak laku. Sebagai kenangan sekaligus agar dompet saya kelihatan tebal. Haha
Uang Rp100.000, uangnya sama, tapi cara pandang, cara menyikapinya berbeda-beda. Cara mendapatkanya pun berbeda-beda.
Ada yang dengan mudahnya menghabiskan dalam sekejap, ada yang harus teliti dalam membelanjakannya. Ada yang dengan mudah mendapatkannya, sebaliknya ada yang harus jungkir balik.
Kemarin, jauh-jauh ada wali murid datang menemui saya, bermaksud untuk mengambil uang tabungan anaknya, tidak besar, Rp200.00. Katanya untuk berobat anaknya (murid saya). Emang tidak ada uang lagi yah? Mungkin kita berpikiran seperti itu. Masa mau berobat anaknya saja harus mengambil uang tabungan dulu.
Bentar...bentar. Jangan ngomong, kan ada BPJS. Emang tidak punya yah? Emang tidak dapat yah?. Kalau membaca tulisanku kemarin (baca), mungkin akan sedikit paham, bahwa "status" itu penting.Â
Miskin status miskin, dapat. Miskin tanpa status miskin, tidak dapat. Beliau (wali murid tadi) sebenarnya keluarganya punya, tapi terpaksa tidak dibayarkn setip bulannya. Untuk makan saja susah, apalagi buat nyetorin BPJS.Â
Lebih-lebih dengan adanya pandemi covid-19 ini, pekerjaannya sebagai "jaka tarub" otomatis berhenti. Banyak pesanan yang terpaksa dicancel, sehingga beliau otomatis tidak berangkat kerja. Maka, ketika anaknya sakit terpaksa mengambil tabungan. Yang mana, tabungan tersebut bisa jadi untuk persiapan lebaran atau tahun ajaran baru.
Uang Rp100.000, bagi saya sangat berarti, bagi kamu mungkin biasa saja. Bagi saya (kamu) berarti ko.
Salam hangat
Miftahudin
KBC-17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H