Mohon tunggu...
mardian wibowo
mardian wibowo Mohon Tunggu... -

pegawai negeri sipil di jakarta, dengan satu istri dan satu balita..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masa Depan dan Segelas Kopi (1)

1 Maret 2013   09:07 Diperbarui: 27 September 2016   12:47 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kereta tidak terlambat, lima belas menit sebelum pukul delapan, sudah sampe Gambir .

Gerbong yang berbeda, namun lintasan yang sama, tangga turun yang sama, ketergegasan yang sama, dan kerumunan ojek yang sama..

Sedikit di ujung stasiun, di sudut bawah pilar beton penyangga lintasan kereta, seorang perempuan tua yang sepantasnya disebut nenek, mengusap rambut putihnya ke belakang, persis saat aku membuka topi yang menguarkan aroma gatsby dari rambut tersisir rapi.

Hari masih bisa dibilang pagi, meskipun sudah tidak lagi dingin.

Jaketku, MGee, dapat di obralan Robinson seratus dua puluh lima ribu rupiah, minta dilepas karena gerah merambati punggung. Sementara, di ujung sana, nenek itu dengan sia-sia mencoba merapikan jaketnya, yang kusut dan warnanya tak lagi enak dilihat. Dia masih merasa dingin, kutahu itu dari bebatan syal di lehernya. Bukan syal, tepatnya selendang batik, yang bagi penyuka batik sepertiku kuyakin dulunya selendang itu sangat cantik, mungkin dari Tanah Abang , atau dapat dari anaknya, entahlah..

Tangannya mengaduk. Tangan yang renta tapi masih cukup kuat mengaduk kopi mengepul dalam dua gelas plastik, yang diletakkannya di tumpukan batako bersisian dengan kotak terbuka obat batuk bronchitis, berwarna hijau. Sepertinya itu obatnya, mengingat tergeletak di dekat sendok dengan sisa-sisa cairan kecoklatan, dan kukira itu sisa obat batuk.

Alas kardus itu hanya muat satu orang, dua sisinya terhalang pilar beton dan kotak kayu yang serba muat apapun barang pribadinya. Tentu kotaknya tak besar karena tak banyak barang-barang pribadinya, sekaligus tempat sachet-sachet kopi tergantung, gula dalam kantong, setumpuk gelas plastik, dan termos yang terbebat erat plastik dan karet, mungkin agar hangatnya tetap kuat.

Diangsurkannya segelas yang mengepul kepada security Gambir, yang kuyakin membelinya dengan melupakan kebersihan, semata kasihan, mengingat tak jauh di lobi Gambir, berderet warung makan dengan beragam pilihan kopi, harga bersaing, tempat bersih, dan waiter yang ramah nan wangi.

Kopi hitam seduh, Kapal Api, kuingat slogannya di tivi “secangkir semangat”, seharga dua ribu rupiah. Kuhirup aromanya, wangi, dan seruputan pertama menghantarkan hangatnya melintas lidah mengalir ke lambung. Aku punya maag, sebentar lagi pasti nyerinya akan menusuk ulu hati, karena kopi. Tapi percayalah, nyeri ulu hati karena kopi pahit dalam gelas plastik, tidak ada apa-apanya dibanding nyeri ulu hati membayar pajak bulanan dan segala retribusi, sementara kita tahu orang-orang seperti nenek penjual kopi ini tidak pernah ikut merasakan nikmatnya santunan negara.

Seruputan kedua mengalir lega..

Satu dua kenalan lewat menyapa. Bersama ojek mereka melaju, berebut jalan, menembus keramaian menuju gedung-gedung megah yang menawarkan kesejahteraan dan jaminan masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun