Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Soempah Pemoeda! Ciyus Miapah?

28 Oktober 2015   04:31 Diperbarui: 28 Oktober 2015   16:28 3529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang serius. Bahkan untuk bercandapun kita akan serius. Kalau serius-nya belum cukup seserius yang kita inginkan, maka akan kita tingkatkan intensitasnya menjadi duarius. Atau tigarius. Bahkan berius-rius.

Maka oleh karena itu, Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 di rumah kos-kosan kepunyaan Sie Kok Liong di Jl. Kramat 106 didhapuk dengan judul baru SUMPAH PEMUDA, karena dianggap kurang serius.

Dari tiga kepoetoesan hasil kongres, keputusan terakhir menarik untuk dibahas dengan serius. Tidak ada yang salah dengan nomor satu dan nomor dua. Hanya saja…..boooring.*

Toempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Lahir di Indonesia, kemungkinan besar malaikat maut juga menjemputmu di sini. Memang ada sih, yang meninggal di luar negeri. Ada yang menjadi syuhada saat melaksanakan ibadah haji. Atau saat berobat ke luar negeri tapi takdir menentukan lain. Atau menjalani hukuman mati ketika menjadi pahlawan devisa tanpa negara peduli. Atau pencari suaka politik yang tak diakui Negara dan tak ingin pulang lagi.

Berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.Takdir lagi. Meskipun kamu pernah bikin status “Kalau si Fulan yang jadi camat saya akan pindah ke luar angkasa!”, tak ada yang bisa memaksamu naik roket September menuju Pluto ketika ternyata Fulan jadi walikota. Kalaupun para pendukung Fulan merundungmu sampai blenyek, itu hanya sebentar.

Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang pelupa. Karena pelupa itu lah maka aktris pemeran utama Bandung Lautan Asmara bisa menjadi wakil bupati. Karena pelupa itu lah, saat buku putih bersampul merah berjudul TOLAK KENAIKAN HARGA ECERAN MINYAK JELANTAH WALAU HARGA PABRIK MINYAK JELANTAH NAIK beberapa saat kemudian disulap menjadi DUA RIBU ALASAN HARGA ECERAN MINYAK JELANTAH HARUS  NAIK MESKIPUN HARGA PABRIK MINYAK JELANTAH TURUN, para pengusung Fulan bertepuk tangan sambil mengupas kuaci biji bunga matahari. Kecuali kamu mendapat pasangan ekspatriat yang menjadikanmu sebangsa dengannya. Atau kamu sebelumnya penduduk sebuah provinsi di Indonesia sebelah timur pulau Timor untuk beberapa tahun dan sekarang kamu masih penduduk di situ tapi merayakan hari kemerdekaan pada bulan Mei, bukan setiap tanggal tujuh belas bulan Agustus. Atau pencari suaka politik yang tak diakui Negara dan tak ingin pulang lagi.

Mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Mari kita serius.

Menurut wikipedia bahasa Indonesia: Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Penamaan Bahasa Indonesia gegara Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan imperialisme bahasa apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Apa lagi yang boleh membuat hidup penyair dan penulis lebih hidup selain bahasa yang hidup?

Meskipun bahasa Indonesia merupakan lingua franca bangsa Indonesia, tapi bukan sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu umumnya salah satu dari 748 (tujuh ratus empat puluh delapan) bahasa daerah.

Menarik, bukan? (Husss! Tidak perlu dijawab ‘bukaan!’)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun