Berbeda halnya dengan puisi, ketika pembaca meminta ulasan fiksi/prosa karya Penulis, maka Penulis merasa berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut. Tulisan ini menanggapi komentar Kompasianer Muslifa Aseani pada cerpen Empat Puluh Dua Kemarau yang Penulis sertakan dalam event menulis Fiksi Foto di Kompasiana yang diadakan trio DesoL, Imas Siti Liawati dan Putri Apriani (DIP).
1. Show, don’t tell
Dalam menulis fiksi/prosa, ada satu aturan yang lazim dijadikan pegangan dalam bertutur, yaitu “Show, don’t tell” (tunjukkan, bukan paparkan).
Misalnya, “Bayangan bulan purnama terpantul di atas kolam”, berbeda rasanya dengan “Talam perak mengambang di permukaan yang tenang, mendadak pecah ke segala penjuru oleh pendaratan seekor serangga air berkaki panjang yang ingin mengistirahatkan sayapnya yang lelah.”, meski peristiwanya sama.
Flash fiction adalah sebuah plot kisah lengkap dengan awal, konflik, klimaks, anti klimaks dan penutup dengan jumlah kata terbatas.
Ketika membaca fiksi-enam-kata Hemingway, “Dijual: sepatu bayi. Belum pernah dipakai.”, dalam benak pembaca mungkin akan muncul pertanyaan: Mengapa sepatu itu belum pernah dipakai? Apa yang terjadi dengan bayi tersebut? Bagaimana keadaan keluarga yang memasang iklan itu?
Mungkin pembaca lain akan merangkai sebuah kisah: Pasangan suami istri yang kehilangan anaknya yang baru lahir. Kesedihan yang dalam melanda mereka. Sang istri berduka, setiap hari termenung memandang sepatu bayi yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Sang suami yang tak tahan melihat itu, memutuskan untuk menjual sepatu bayi tersebut....
Hanya dengan enam kata saja, Hemingway telah memancing sejumlah pertanyaan dan imajinasi pembacanya.
Sebagai fiksianer yang masih belajar, penulis berusaha menerapkan aturan “Show, don’t tell” dalam cerpen-cerpen Penulis. Misalnya, dongeng Monster terinspirasi permainan Pokemon Go, penulis membayangkan bagaimana jika ternyata pokemon sebenarnya makhluk hidup di alam mereka sendiri? Bagi mereka, manusia yang menangkapnya adalah monster.
Dalam menulis cerpen tersebut, Penulis mengajak pembaca berimajinasi seperti Penulis tanpa harus memaparkan dengan kalimat-kalimat gamblang.
Demikian juga dengan cerpen Empat Puluh Dua Kemarau.