Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhir Pekan Kami Pergi ke Pantai

13 Desember 2024   21:22 Diperbarui: 13 Desember 2024   21:22 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pantai tidak begitu indah tanpa matahari. Ayah berkata begitu, tetapi Ibu bersikeras agar kami tetap pada rencana. Kami semua harus menderita karena kesalahan Ayah. Langit seputih kulit ikan menutupi laut.

Aku dengan patuh menata kerang dan tulang ikan pipih di sekeliling Ibu sementara Ayah dengan keceriaan palsunya membangun istana pasir. Ayah menyebut Ibu ratunya,tetapi Ibu kalau sudah marah tidak mengenal ampun.

Aku menghindar di bawah momen-momen yang menegang ketika mereka saling menatap tajam.

Air laut mengalir deras ke parit. Ibu mendesah. Kedengarannya seperti mengerang kesakitan. Ombak menaruh sisik garam di tulang keringku.

Kami berjalan ke mobil, dengan beban handuk basah, tas, dan keheningan yang berat yang kami tahu tidak akan bertahan lama. Sebuah garis tebal ditarik tempat lautan dan langit tidak dapat menemukan kompromi.

Ayah menjatuhkan handuk, hampir seperti disengaja. Tuduhan itu keluar dari mulut Ibu. Ayah membalas dengan keras.

Aku melihat kesempatan untuk berlari menembus ruang di antara mereka, kembali ke tepi untuk menendang arus balik ombak yang mengaduk pasir gelap. Aku mengangkat mataku. Sisik-sisik awan telah terlepas dan langit dipenuhi dengan tanda petik.

Didorong oleh rasa takut yang tiba-tiba, aku berteriak kepada mereka, jangan sampai, karena begitu asyik bertengkar, mereka pergi dan lupa bahwa mereka pernah punya anak.

Mereka duduk di tanggul dekat tempat parkir mobil, saling tumpang tindih, muka cemberut, dan topeng terpasang.

Melalui lubang mata mereka memohon padaku, seolah-olah hidup mereka bergantung pada kesepakatan rahasia dariku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun